Minggu, 13 Juli 2008

KEKUATAN CINTA TERHADAP SEORANG WANITA

Home | Blogs

revoLUTHIon revoLUTHIon
sejuta cinta sejuta cahaya
Untuk pria bidadari, untuk wanita?

Untuk pria bidadari, untuk wanita?
Untuk pria bidadari, untuk wanita? Pertanyaan: asw,kalau pria balasannya disurga ialah bersama bidadari,gimana dengan kaum wanita,syukron,wsl ismoyo Jawaban: Assalamu alaikum wr.wb. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Saudara Ismoyo, menjawab pertanyaan Anda di atas, ada satu pendapat yang dikemukakan oleh Mutawali Sya'rawi sebagai berikut: Yaitu bahwa Allah menyediakan kebahagiaan sorga sesuai dengan tabiat yang dimiliki oleh manusia. Wanita memiliki tabiat yang suci dan lurus di mana pada dasarnya menolak memiliki suami lebih dari seorang. Ia sudah merasa cukup dengan seorang suami. Karena itu, kita melihat banyak janda yang ketika telah ditinggal suami tidak lagi mau menikah. Sebaliknya, pria cenderung ingin memiliki lebih dari satu orang isteri. Maka, hal itupun dipenuhi oleh Allah di sorga nanti dengan keberadaan para bidadari. Lebih dari itu, di sorga nanti tidak ada lagi perasaan dendam, dengki, iri, cemburu, dan sebagainya. Sebab, semua itu telah dicabut oleh Allah. Demikian pendapat Mutawali Sya’rawi. Wallahu a’lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb

January 02, 2007 | Permalink | Comments (2)

Internet ke Interkoloni

Internet ke Interkoloni

HARUN YAHYA


Pemrogram komputer menggunakan lebah madu sebagai rujukan
Naiknya tingkat kesibukan berbelanja melalui Internet menimbulkan sejumlah permasalahan besar. Perilaku pelanggan ketika berbelanja bisa jadi sama sekali lain dari perkiraan umumnya, dan mungkin saja berbeda di antara sesama pelanggan. Hal ini menyebabkan lalu lintas internet menjadi tidak teratur dan akhirnya berujung pada penumpukan tiba-tiba pada server Internet yang menangani belanja on-line. (Server: sebuah komputer dalam sebuah jaringan yang menyimpan program-program aplikasi dan file-file data yang dapat dikunjungi oleh komputer-komputer lainnya di dalam jaringan tersebut.) Para pakar dari Universitas Oxford dan the Georgia Institute of Technology [Institut Teknologi Georgia] melakukan kerjasama dalam rangka mengembangkan sejumlah teknologi yang dapat mengatasi penumpukan semacam itu. Para peneliti ini mengambil model atau contoh-acuan berupa suatu masyarakat yang lalu lintasnya telah berhasil diatur dengan sangat baik. Contoh-acuan ini adalah perilaku koloni atau masyarakat lebah madu yang tengah ditiru dalam sejumlah teknologi yang ditujukan untuk meringankan beban pada server-server pada saat terjadi kepadatan lalu lintas yang luar biasa.
Lonjakan jumlah pelanggan belanja atau perdagangan saham secara tiba-tiba, naik turunnya kegiatan lelang melalui internet memunculkan kesulitan besar pada perusahaan-perusahaan pengelola server. Untuk meningkatkan keuntungan mereka sebesar-besarnya, perusahaan-perusahaan ini perlu memeriksa komputer-komputer mereka setiap saat untuk menjaga agar komputer tersebut tetap mampu menyesuaikan diri terhadap tingkat kebutuhan yang berubah-ubah melalui campur tangan secara cepat. Namun pada kenyataannya, hanya satu aplikasi web saja yang dapat dimuat ke dalam komputer pada satu waktu, dan hal ini merupakan sebuah kendala. Perpindahan antar-aplikasi menyebabkan penghentian sementara selama 5-7 menit, waktu ini diperlukan untuk konfigurasi ulang pada komputer, dan ini berarti kerugian.

Permasalahan serupa dijumpai dalam tugas-tugas yang dijalankan oleh lebah madu. Sumber-sumber bunga memiliki keragaman dalam hal mutu. Oleh karena itu, seseorang mungkin berpikiran bahwa keputusan tentang berapa banyak lebah yang harus dikirim ke setiap tempat tersebut dan berapa lama mereka sebaiknya berada di sana merupakan sebuah permasalahan dalam sebuah koloni yang ingin mencapai laju pengumpulan madu bunga (nektar) setinggi-tingginya. Akan tetapi, berkat sistem kerja mereka yang sangat baik, lebah mampu memecahkan permasalahan ini tanpa mengalami kesulitan.
Sekitar seperlima dari lebah-lebah di dalam sebuah sarang bertugas sebagai pengumpul-nektar. Tugas mereka adalah berkelana di antara bunga-bunga dan mengumpulkan nektar sebanyak mungkin. Ketika kembali ke sarang, mereka menyerahkan muatan nektar mereka kepada lebah-lebah penyimpan-makanan yang menjaga sarang dan menyimpan bahan makanan. Lebah-lebah ini kemudian menyimpan nektar di dalam petak-petak madu. Seekor lebah pengumpul-nektar juga dibantu oleh rekan-rekannya dalam menentukan seberapa bagus mutu sumber bunganya. Lebah pengumpul-nektar tersebut menunggu dan mengamati seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bertemu dengan seekor lebah penyimpan-makanan yang siap menerima muatan. Jika waktu tunggu ini berlangsung lama, maka sang lebah pengumpul-nektar memahami hal ini sebagai isyarat bahwa sumber bunganya bukan dari mutu yang terbaik, dan bahwa lebah-lebah yang lain kebanyakan telah melakukan pencarian yang berhasil. Sebaliknya, jika ia disambut oleh sejumlah besar lebah-lebah penyimpan-makanan untuk mengambil muatannya, maka semakin besarlah kemungkinan bahwa muatan nektar tersebut bermutu baik.
Lebah yang mendapatkan informasi ini memutuskan apakah sumber bunganya senilai dengan kerja keras yang akan dilakukan berikutnya. Jika ya, maka ia melakukan tarian-getarnya yang terkenal agar dipahami maksudnya oleh lebah-lebah lain. Lama tarian ini memperlihatkan seberapa besar keuntungan yang mungkin dapat diperoleh dari sumber bunga ini. [penjelasan lebih lanjut tentang tarian lebah, silakan baca: http://www.harunyahya.com/indo/buku/menyingkap003.htm]
Sunil Nakrani dari Universitas Oxford dan Craig Tovey dari the Georgia Institute of Technology menerapkan cara pemecahan masalah oleh lebah madu tersebut pada permasalahan ada pada Internet host. Setiap server mengambil peran sebagai lebah pengumpul-nektar, dan setiap permintaan pelanggan bertindak sebagai sumber bunga. Dengan cara ini, doktor Nakrani dan Tovey mengembangkan sebuah algoritma "lebah madu" untuk server Internet "sarang." (Algoritma: Serangkaian tahapan-tahapan logis untuk memecahkan suatu permasalahan yang dapat diterjemahkan ke dalam sebuah program komputer.)
Sebuah host menjalankan tugas, sebagaimana yang dilakukan lebah dengan tarian-getarnya, dengan membuat sebuah iklan dan mengirimkannya ke sejumlah server lainnya di dalam sarang. Lama masa penayangan iklan ini mencerminkan manfaat dan tingkat keuntungan yang dapat diraup melalui para pelanggan server-server tersebut. Server lain membaca iklan ini dan berperilaku seperti lebah-lebah pekerja yang mengikuti petunjuk yang yang disampaikan melalui tarian-getar tersebut. Setelah mempertimbangkan dan mengkaji iklan ini beserta pengalaman mereka sendiri, mereka memutuskan perlu tidaknya untuk beralih dari para pelanggan yang sedang mereka layani ke para pelanggan yang sedang dilayani oleh server yang mengirim iklan tersebut.
Doktor Nakrani dan Tovey melakukan uji banding antara algoritma lebah madu yang mereka kembangkan dengan apa yang disebut sebagai algoritma "rakus" yang saat ini dipakai oleh kebanyakan penyedia Internet host. Algoritma rakus terlihat ketinggalan zaman. Algoritma rakus membagi waktu menjadi sejumlah penggalan waktu yang tetap dan menempatkan server-server untuk melayani para pelanggan untuk satu penggalan waktu berdasarkan pengaturan yang dianggap paling menguntungkan pada penggalan waktu sebelumnya. Para peneliti mengungkap bahwa di saat-saat ketika lalu lintas sangat berubah-ubah, algoritma lebah madu memperlihatkan kinerja 20% lebih baik daripada algoritma rakus. Sebentar lagi mungkin server-server yang bekerja menggunakan algoritma lebah madu akan semakin banyak di masa mendatang, di mana Internet akan lebih tepat disebut sebagai "Interkoloni."
Dengan pemisalan yang sangat tepat, penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan ini menunjukkan betapa berbagai pemecahan masalah yang masuk akal terdapat di alam. Permasalahan yang dihadapi server-server Internet sangatlah mirip dengan permasalahan yang dipecahkan oleh koloni lebah madu. Sungguh, keberhasilan yang dicapai penelitian tersebut, yang dilakukan dengan menerapkan contoh-rujukan koloni lebah madu, menjadi isyarat akan hal ini. Akan tetapi, dari manakah asal usul rumusan pemecahan masalah yang diberikan lebah madu kepada para pemrogram komputer tersebut? Meskipun para pemrogram komputer dapat mengambil perilaku lebah madu sebagai contoh-rujukan mereka, lebah itu sendiri tidak dapat melakukan hal seperti itu. Ini dikarenakan meskipun tiruan algoritma lebah yang dibuat oleh pemrogram komputer merupakan hasil dari proses berpikir cerdas yang dilakukan secara sadar, lebah madu tidak memiliki kemampuan berpikir semacam itu. Pemecahan atas permasalahan tersebut membutuhkan tindakan sadar, misalnya pertama-tama pemahaman tentang adanya permasalahan tersebut, pengkajian terhadap sejumlah penyebab timbulnya permasalahan itu, pengenalan atas pengaruh sejumlah penyebab itu terhadap permasalahan tersebut secara umum dan pengaruhnya terhadap satu sama lain, dan akhirnya pengambilan keputusan di antara beragam pilihan yang ada.
Sudah pasti pemecahan masalah semacam itu tidak mungkin terjadi di dalam koloni lebah beranggotakan 20 sampai 50 ribu ekor. Hanya ada satu penjelasan masuk akal atas kenyataan ini, di mana sedemikian banyak makhluk hidup menghemat energi dengan menerapkan cara pengumpulan nektar yang paling menguntungkan; meskipun orang biasanya mengira akan melihat suatu kekacauan dan kebingungan di dalamnya. Pemahaman atas permasalahan di dalam koloni lebah dan jalan keluar pemecahannya merupakan hasil karya Pencipta Maha Mengetahui. Tidak ada keraguan, Allahlah, Pencipta langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya, Yang telah menciptakan koloni lebah. Strategi yang diterapkan di dalam koloni lebah madu merupakan ilham yang berasal dari Allah. Allah menyatakan hal ini di ayat berikut:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)." Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. An Nahl, 16:68-69)

December 13, 2006 | Permalink | Comments (0)
Ketika Ikhwah Jatuh Cinta

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta

Suatu ketika, dalam majelis koordinasi seorang akhwat berkata pada masâ€ul dakwahnya, “akhi, ana ga bisa lagi berinteraksi dengan akhfulanâ€?. Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali menekan perasaannya.â€?Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi dan….Afwan, terus terang juga tersinggung.â€?
Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu mengatakan….ia jatuh cinta pada ana.�
mas’ul tersebut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. “Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan.� Sang mas’ul mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri.

“Afwan…ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini.� sang akhwat kini mulai tersedak terbata.

“Ya sudah…Ana berharap anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini�.
Mas’ul itu membuat keputusan, “ana akan ajak bicara langsung akh fulan�

Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya mas’ul tersebut mendatangi fulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, “Ana memang menyatakan hal
tersebut, tapi apakah itu suatu kesalahan?�

Sang mas’ul berusaha menanggapinya searif mungkin. “Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu.
Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya.
Apakah antum menyampaikan kepada pembina antum untuk diseriuskan?.
Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah????� Mas’ul tersebut membuat penekanan
substansial. � Akhi bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah.
Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka Jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan.�

Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?

Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam
konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta
tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta ‘lain’ muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini
yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak
lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif
yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini,� …akan lebih banyak
lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada
disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya…..daripada yang
saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri..�

Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan
jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah
dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan
dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada
diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta???jangan sampai kita lupa,
bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan,
maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai
generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun
pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena
memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta
diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa
mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita
tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku
generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang
cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan
dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun
mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah
persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja
keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan
Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.

Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang
jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah
banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan.
Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta
masih menjadi topik ‘asing’ dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi
dan nuansa cinta kita masih terkesan ‘misteri. Pertanyaan sederhana,
“Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama
dia?�, dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan
cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan ‘Nikah dulu baru pacaran’ masih menjadi jargon yang
menyimpan pertanyaan misteri, “Bagaimana caranya, emang bisa?�. Sangat
sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon
tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan,
diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan
jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan
cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari
penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada
sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa.
Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan
ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi
bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang
berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang
Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta
ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga
dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap
akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta
ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan
kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak
dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut
mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang
menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa
mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga
dakwah hari ini.

Epilog
Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji
dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna,
maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri
kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang
istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan
perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan
Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita.
Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.

Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini.
Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka
saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka
menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah
berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan
Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang
sakinah, mawaddh, warahmah. jadi…sudah beradi jatuh cinta…??

wallahu’alam

diambil dari majalah al izzah edisi 11/th4/jan 2005 M
http://safitri.blogsome.com/category/tausiyah/

December 05, 2006 | Permalink | Comments (1)
19 hadist tentang wanita

1.Doa perempuan lebih makbul daripada lelaki kerana sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah akan hal tersebut, jawab baginda, "Ibu lebih penyayang daripada bapa dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia".

2 Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya.Allah mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan

3.Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah

4. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya

5. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan

6. Apabila semalaman ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah memberinya pahala seperti memerdekakan 70 hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah.

7. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, darjatnya seumpama orang yang sentiasa menangis kerana takutkan Allah dan orang yang takutkan Allah, akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.

8. Barangsiapa membawa hadiah, (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya, maka pahalanya seperti bersedekah. Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barangsiapa yang menyukakan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail.

9. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah memasukkan dia ke dalam syurga lebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).

10. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat akan suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana sahaja yang dikehendaki.

11. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 1,000 lelaki yang soleh.

12. Aisyah berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita? Jawab rasulullah, "Suaminya. "Siapa pula berhak terhadap lelaki?" Jawab Rasulullah, "Ibunya".

13. Apabila memanggil akan engkau dua orang ibubapamu, maka jawablah panggilan ibumu dahulu

14. Wanita yang taat akan suaminya, semua ikan-ikan di laut,burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya serta menjaga sembahyang dan puasanya.

15. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup
pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

16 Syurga itu di bawah tapak kaki ibu.

17 Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Nabi s.a.w) di dalam syurga

18 Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta bertanggungjawab, maka baginya syurga.

19 Daripada Aisyah r.a. Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuan lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.

December 05, 2006 | Permalink | Comments (0)
Meluruskan Penyimpangan Sejarah Kekhalifahan Khulafa Ar-Rasyidin

Meluruskan Penyimpangan Sejarah Kekhalifahan Khulafa Ar-Rasyidin
--------------------------------------------------------------------

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Qowlul Haqqi Wa Kalamus Shidqu Huwa Warogatul Ichlas Allattamami
(Perkataan yang hak dan kalimah yang benar, harus diiringi dengan
perbuatan yang benar menuju kesempurnaan kebenaran).

Tulisan ini saya turunkan untuk menjadi renungan bagi kita semua,
termasuk diri saya sendiri didalam memahami Islam secara utuh dan
menghilangkan segala macam khurafat, dengki, takhayul dan hal-hal
lainnya yang dapat menyebabkan kehilangan salah satu unsur
keseimbangan dari wahyu Allah ini berdasarkan Khofi As Zakiah [hati
yang suci] yang amat Khullus [ikhlas] serta dihiasi dengan kebajikan
Allat Dawam [yang abadi] lagi disertakan Tahmit [pujian] dan Tamjit
Allat Tamami [kebenaran yang sempurna].

Rasul Allah yang mulia, Muhammad Saw Al-Amin sang Paraclete, Ahmad
yang dijanjikan telah dilahirkan pada hari Senin 12 Rabi'ul awal
tahun gajah atau bertepatan dengan tahun 570 Masehi dan wafat pada
hari dan tanggal yang sama, hari Senin, 12 Rabi'ul awal tahun 11
hijriah.

Beliau wafat setelah usai menunaikan tugasnya sebagai utusan Tuhan
dan Penutup para Nabi, menanamkan nilai-nilai ke-Tuhanan, kebenaran
dan prinsip hidup kemasyarakatan kepada manusia dialam semesta selama
20 tahun 2 bulan 22 hari dalam 23 tahun periode keNabiannya dengan
menghitung 3 tahun lamanya Rasul tidak mendapatkan wahyu semenjak ia
dapatkan pertama kalinya di Gua Hira.

Wahyu terakhir dari Allah yang ia terima adalah pada tanggal 09
Dzulhijjah, 07 Maret 632 Masehi, saat Nabi sedang berwukuf dipadang
'Arafah bersama-sama kaum Muslimin melaksanakan Haji Wada' (Haji
perpisahan) yaitu Surah Al-Maidah ayat 3.

Pada masa-masa kepemimpinannya, umat Islam bersatu dalam satu
kesatuan yang utuh, tidak ada perpecahan diantara mereka, semua
perselisihan yang terjadi, selalu dikembalikan kepada Allah dan
Rasul-Nya.

Sejarah mencatat bahwa dakwah Islam sudah mencapai kenegri Tiongkok
ketika Nabi Muhammad Saw sendiri masih hidup (627 M). Adapun yang
melakukan penyebaran Islam dinegri tersebut adalah sahabat Nabi yang
bernama Abu Kasbah, sekaligus mendirikan masjid pertama di Kanton.

Pada tahun 632 M, Abu Kasbah kembali kenegrinya untuk melaporkan
keadaan dinegri Tiongkok kepada Nabi Saw, tetapi kedatangannya ke
Madinah ternyata terlambat sebulan dari saat wafatnya Nabi,
selanjutnya Abu Kasbah kembali ke Tiongkok dan meninggal disana.

Sepeninggal Nabi Muhammad Saw, umatnya mempermasalahkan bangku
kekhalifahan yang akan menggantikan kedudukan Rasul memimpin umat
Islam.

Pada hari wafatnya Rasulullah, beberapa sahabat dari golongan Anshar,
yang terbagi pada suku Kharaj dan 'Aus telah berkumpul di saqifah,
perkampungan Bani Sa'idah untuk merundingkan masalah tersebut dengan
para sahabat dari golongan Muhajirin.

Diantara mereka ada yang bermaksud mengangkat Sa'ad bin Ubadah (dari
suku Khazraj) menjadi Khalifah pertama, sebagian lagi ada yang
mengatakan bahwa Khalifah tersebut harus dari seorang suku Quraisy.

Abu Bakar Siddiq (mertua Rasul - ayah dari Ummul-Mu'minin 'Aisyah),
menengahi perdebatan tersebut dengan mengajukan beberapa sabda Nabi
yang menyatakan satu keharusan untuk mendahulukan suku Quraisy dan
tidak mendahuluinya, Abu Bakar juga mengingatkan akan bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh peperangan antara sesama sebagaimana yang
pernah terjadi pada masa lalu antara kaum 'Aus dan Kharaj [akibat
intrik kaum Ahli kitab dan Yahudi] sembari menawarkan dua orang tokoh
dari suku Quraisy yaitu Umar bin Khatab (juga Mertua Rasul - ayah
dari Ummul-Mu'minin Hafshah) dan Abu Ubaidah.

Pencalonan dirinya oleh Abu Bakar ini ditolak oleh Umar Bin Khatab
dan sebaliknya beliau malah menunjuk Abu Bakar sendiri untuk
menempati posisi kekhalifahan tersebut dengan berbagai argumennya
(yang salah satunya bahwa pada saat-saat terakhir kehidupannya, Nabi
Muhammad Saw telah meminta Abu Bakar untuk menggantikan beliau
sebagai imam shalat).

Penunjukan Abu Bakar sebagai Khalifah Ar-Rasul pertama disetujui oleh
sebagian besar sahabat seperti Abu Ubaidah, Basyir bin Sa'ad dan lain
sebagainya.

Namun disisi lainnya, pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah ini
tidak mendapatkan dukungan dari Fatimah Az-Zahra (putri Nabi dari
Khadijjah - istri pertama beliau) dan juga dari Ali Bin Abu Thalib
(Keponakan sekaligus menantu Nabi - suami dari Fatimah) ditambah pula
oleh Sa'ad bin Ubaidah, Bani Hasyim serta pengikutnya selama enam
bulan kemudian sampai pada wafatnya Fatimah.

Pada saat berlangsungnya peristiwa Saqifah, Ali bin Abu Thalib sedang
mengurus jenazah Nabi. Dia tidak mengetahui adanya pertemuan itu.
Yang dia ketahui adalah bahwa Abu Bakar telah terpilih. Beberapa
sahabat lainnya memandang bahwa Ali Bin Abu Thalib inilah yang
sebenarnya lebih berhak dijadikan Khalifah Ar-Rasul.

Para sahabat ini mengeluarkan argumennya bahwa dalam suku Quraisy,
Bani Hasyim dan Bani Umayyah adalah dua suku terhormat. Dan Ali
merupakan pemuda dari Bani Hasyim yang terhormat dan dekat pula
dengan Nabi semasa hidupnya.

Tokoh lainnya yang pantas untuk menduduki jabatan Khalifah adalah
Hamzah Bin Abdul Muthalib (paman sekaligus saudara sesusuan
Rasulullah), hanya sayangnya pada saat itu Hamzah Bin Abdul Muthalib
telah wafat pada peperangan Uhud ditangan seorang budak bernama
Wahsyi yang dijanjikan kebebasannya oleh Hindun Binti 'Utba.

Selain Hamzah, terdapat pula paman Nabi yang lain yang masih hidup
yaitu Abbas bin Abdul Muthalib tetapi karena Abbas ini baru masuk
Islam, maka seharusnya menurut mereka Ali Bin Abu Thalib lah yang
berhak.

Pada awal pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama itu juga,
Abu Sufyan menawarkan bantuan kepada Ali bin Abu Thalib untuk merebut
kekuasaan dari Abu Bakar, tapi tawaran Abu Sufyan ini ditolak oleh
Ali Bin Abu Thalib dengan arif dan bijaksana demi menjaga keutuhan
umat. Pada masa berikutnya, Ali Bin Abu Thalib memberikan bantuan dan
sokongannya kepada pemerintahan Abu Bakar.

Dalam buku Nahjul Balaghah Juz 1, halaman 182 dituliskan perkataan
Ali Bin Abu Thalib r.a,

"Tinggalkanlah aku dan carilah orang lain, karena kita menghadapi
persoalan yang amat kompleks. Dan ketahuilah, jika aku menjawab
permintaan kalian, aku hanya akan mengikuti apa yang aku ketahui,
dan aku tidak akan mendengarkan pendapat orang yang berpendapat
dan celaan orang yang mencela. Sebaliknya, jika kalian
meninggalkan aku, maka aku akan menjadi rakyat biasa seperti
kalian. Semoga aku mendengar dan taat kepada siapapun yang kalian
percayai untuk memimpin kalian. Lebih baik bagi kalian jika aku
menjadi wazir (pembantu) dari pada menjadi Amir (Pemimpin)."

Dalam buku yang sama, yaitu pada juz ke-3 halaman 8 diterangkan
pernyataan Ali Bin Abu Thalib r.a mengenai keabsahan dunia
kekhalifahan pimpinan Abu Bakar r.a

"Sesungguhnya bai'at itu hanya sekali, tidak boleh ada alternatif
kedua dan tidak diizinkan memilih (berbai'at atau tidak
berbaiat). Barang siapa keluar dari padanya, ia telah berbuat
kejahatan dan barang siapa menolaknya, ia telah berkhianat."

Ali r.a juga menegaskan

"Demi agamaku, andaikata imamah tidak dapat terlaksana kecuali
dengan dihadiri seluruh rakyat, maka hal itu akan sulit terjadi.
Namun cukuplah penduduk yang hadir menentukan pilihan bagi mereka
yang tidak hadir. Setelah itu tidak ada alasan bagi mereka yang
hadir untuk menolak bai'at dan tidak ada alasan pula bagi yang
tidak hadir untuk memilih."
(Nahjul Balaghah juz 2 halaman 86).

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, orang-orang Nejeb dan Yaman
menyatakan diri murtad dari Islam dan mengikuti Musailamah AlKazhab
yang mengaku sebagi Nabi, padahal seperti yang sudah disabdakan oleh
beliau Saw sendiri, sesudahnya tidak akan ada lagi Nabi yang diutus
oleh Allah untuk manusia [QS. 33:40]

Gerakan Musailamah AlKazhab ini kian harinya semakin merusak Islam,
menimbulkan fitnahan dan semacamnya terhadap risalah Tauhid Ilahi,
dan ini mendorong Khalifah Abu Bakar untuk segera mengambil tindakan
tegas.
Terjadilah pertempuran fisik di Yamamah pada tahun 12 Hijriah yang
menyebabkan 70 orang sahabat yang hafal AlQur'an gugur sebagai
syuhada.

Hal ini menimbulkan keprihatinan kepada Umar Bin Khatab, dan atas
inisiatifnya, beliau menyarankan kepada Khalifah Abu Bakar untuk
segera membukukan secara tertulis semua ayat AlQur'an berdasarkan
hafalan semua sahabat dan juga catatan -catatan mereka selagi Nabi
masih hidup menjadi satu buku, sehingga dengan begitu, apabila kelak
kembali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, AlQur'an akan 'tetap
hidup' dan satu meski para penghafalnya sudah tiada.

Saran Umar ini disetujui oleh Khalifah, dan dibentuklah suatu panitia
yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit, dengan dibantu oleh Ali Bin Abu
Thalib, Usman Bin Affan dan Ubay Bin Ka'ab yang kesemuanya itu adalah
para penulis wahyu AlQur'an dan sekertaris Nabi Muhammad semasa
hidupnya dan telah diuji oleh Nabi sendiri hafalannya dengan
disaksikan oleh semua kaum Muslimin.

Tugas pembukuan AlQur'an tersebut dapat diselesaikan dalam waktu
kurang lebih satu tahun, kemudian mushaf Qur'an ini diserahkan kepada
Abu Bakar untuk disimpan.

Nama asli dari Khalifah Abu Bakar Siddiq adalah Abdullah Bin Abu
Kuhafa dari Bani Taim Ibni Murra, berusia 2 tahun lebih muda dari
Nabi Muhammad Saw.

Dialah yang menemani Rasulullah dalam perjalanannya hijrah ke Yatsrib
(Madinah), dan menemani beliau ketika berada dalam Gua Tsur untuk
menghindari kejaran Abu Jahal dan para kafir Quraisy (hal ini juga
tercatat dalam AlQur'an Surah At-Taubah ayat ke-40).

Gelar Siddiq (orang yang percaya) diperolehnya langsung dari Nabi
Muhammad Saw ketika beliau membenarkan semua yang diceritakan oleh
Baginda Rasul mengenai pengalaman Mi'rajnya[1] keplanet Muntaha
disaat orang lain banyak yang mendustakannya.

Pada masa Kekhalifahan Umar Bin Khatab Islam terus menyebar ke
Armenia dan Azerbaijan timur serta Tripoli barat.
Dengan demikian Islam sudah tersebar sampai ke Suriah dan Palestina
yang kala itu menjadi bagian kekaisaran Byzantium, terus ke Turki,
Mesir, Iraq, Iran hingga Persia dan menyebrang ke Afrika Utara.

Khalifah Umar Bin Khatab juga yang membangun Masjidil-Aqsa (637M/?)
dikota Yerusalem yang artinya The City of the Temple dalam bentuk
yang sangat sederhana, terdiri dari empat buah tembok berbentuk
persegi, yang cukup luas untuk menampung 3000 umat untuk
bersembahyang. Letaknya dipelataran Kuil Raja Herodes (Herod's
Temple) yang luas.
Herod's Temple ini juga berada dalam satu area dengan sisa-sisa puing
Kuil Nabi Sulaiman as.

Pelataran ini letaknya agak tinggi sehingga orang mesti memanjat
untuk dapat berada disana.
Ketika Khalifah Umar datang berkunjung, pelataran ini merupakan
tempat burung-burung buang hajat dan pembuangan sampah kota Yerusalem
yang tidak terpelihara.

Khalifah Umar Bin Khatab Alfaruq dan pengikutnya membersihkan
pelataran ini dan membangun cikal-bakal Masjidil-Aqsa di salah satu
sudutnya (bagian selatan). Mesdjid Umar ini kemudian diperbaiki dan
diperluas menjadi Masjidil-Aqsa seperti yang ada sekarang. Ada lagi
bangunan yang lebih besar dari Masdjid Al-Aqsa yaitu The Dome of Rock
yang terletak diseberangnya. Mesdjid Al-Aqsa mempunyai kubah (dome)
berwarna perak sedangkan The Dome of Rock berwarna Emas. The Dome of
Rock ini mulai dibangun pada thn 688 oleh Abdul Malik, Khalifah yang
memerintah saat itu.

Keagungan Umar Bin Khatab tercatat dalam sejarah kemanusiaan sebagai
orang besar nomor dua setelah Nabi Muhammad Saw yang berhasil
memperjuangkan dan menyebarkan Islam kepada manusia. Namanya juga
tercatat dalam urutan ke-51 setelah Poper Urban II dan sebelum Asoka
bahkan sebelum nama Julius Caesar pada buku Seratus Tokoh Michael H.
Hart dengan Rasulullah Saw sebagai tokoh yang berada pada urutan
pertama.

Terhadap Khalifah Umar Bin Khatab r.a, Ali Bin Abu Thalib berkata :

"Sungguh Allah telah memberikan kehebatan kepada Umar. Dia telah
meluruskan tujuan dan mengatasi musibah. Ia perbaiki kerusakan
dan ia tegakkan sunnah. Ia pelihara kesucian diri dan aibnya. Ia
telah mendapatkan kebaikan dari dirinya dan mengalahkan kejahatan
nafsunya.

Telah ia tunaikan ketaatan terhadap Tuhannya dan ia jaga ketaatan itu
dengan sebenar-benarnya. Ia telah pergi dengan meninggalkan bagi
umatnya jalan-jalan bercabang banyak yang sulit bagi orang yang
tersesat untuk menemukan jalan (melakukan kejahatan) dan orang yang
mendapat petunjuk pun tidak merasa pasti (akan keadaan umat
sepeninggalnya)."
(Nahjul Balaghah Juz. 2 halaman 222).

Umar Bin Khatab termasuk salah seorang yang sangat dikasihi oleh Nabi
Muhammad Saw semasa hidupnya.
Sebelum memeluk Islam, Beliau merupakan musuh yang paling ditakuti
oleh kaum Muslimin. Namun semenjak ia bersyahadat dihadapan Rasul
(tahun keenam sesudah Muhammad diangkat sebagai Nabi Allah), ia
menjadi salah satu benteng Islam yang mampu menyurutkan perlawanan
kaum Quraish terhadap diri Nabi dan sahabat.

Beliau meninggal dalam umur 64 tahun karena dibunuh, dikuburkan
berdekatan dengan Abu Bakar dan Rasulullah dibekas rumah Aisyah yang
sekarang terletak didalam masjid Nabawi di Madinah.

Pengangkatan Usman Bin Affan (menantu Nabi yang digelari juga dengan
nama Zun Nuraini karena menikahi 2 putri Nabi yaitu Ruqayah dan Ummu
Kalsum) sebagai Khalifah ketiga pengganti Khalifah Umar mendapatkan
pro dan kontra dari beberapa kalangan sementara Ali Bin Abu Thalib
sendiri justru mendukung keKhalifahan Usman yang diperoleh dari hasil
musyawarah ini.

Dalam Nahjul Balaghah juz 2 halaman 48 disebutkan pernyataan Ali
terhadap Usman.

"Sesungguhnya ada banyak orang dibelakangku dan mereka meminta
aku menemuimu untuk menyampaikan keluhan mereka. Demi Allah, aku
tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu, tidak ada sesuatu
yang kuketahui yang tidak engkau ketahui. Tidak ada pula suatu
perkara yang perlu aku tunjukkan karena engkau tidak
mengetahuinya.

Sesungguhnya engkau tahu apa yang kami tahu, dan tidak ada sesuatu
yang kami lebih dulu tahu sehingga perlu kami beritahukan kepadamu.
Tidak pula ada sesuatu yang hanya kami mengetahuinya yang perlu kami
sampaikan kepadamu. Sungguh telah engkau ketahui apa yang kami
ketahui, dan engkau dengar apa yang kami dengar, dan engkau temani
Rasulullah sebagaimana beliau kami temani.

Tidaklah Ibnu Abu Quhafah (Abu Bakar) ataupun Umar lebih utama darimu
untuk menegakkan kebenaran, sementara engkau lebih dekat
kekeluargaanmu dengan Rasulullah daripada mereka berdua.
Engkau telah menjadi menantunya, sedang mereka tidak demikian.
Hati-hatilah engkau dengan dirimu sendiri.
Demi Allah, sungguh engkau bukanlah orang yang dapat melihat karena
terlepas dari kebutaan dan bukan pula orang yang berilmu karena
terlepas dari kebodohan."

Pada masa Khalifah Usman Bin Affan, atas inisiatif Hudzaifah Bin
Yaman, salah seorang sahabat dekat Rasulullah, menyarankan kepada
Khalifah Usman agar segera mengusahakan keseragaman bacaan AlQur'an
dengan jalan menyeragamkan penulisan AlQur'an diantara bangsa-bangsa
Islam yang semakin besar dan menyebar.

Penggandaan yang dilakukan oleh Khalifah Usman Bin Affan itu sendiri
berdasarkan AlQur'an yang telah dibukukan oleh Khalifah Abu Bakar
Shiddiq dan disimpan oleh Hafshah Bin Umar Bin Khatab dengan tetap
dibawah pimpinan Zaid Bin Tsabit.

Pada masa kekhalifahan Usman bin Affan ini juga, Kaisar Kao Tsung
dari daratan Tiongkok pernah mengirimkan perutusan ke Madinah karena
mengagumi atas munculnya 'kerajaan baru' dan mempunyai pedoman agama
yang kuat. Misi persahabatan ini dibalas oleh Khalifah Usman Bin
Affan dengan mengirimkan misi persahabatan pula ke Tiongkok.

Setelah kewafatan Khalifah Usman Bin Affan dari Bani Umayyah, Ali Bin
Abu Thalib naik menjadi Khalifah ke-4 menggantikannya dan memindahkan
pusat pemerintahan ke Kufah, Irak.

Ali Bin Abu Thalib terkenal dengan siasat perang dan ilmu pengetahuan
yang tinggi.
Selain Umar bin Khatab r.a., Ali bin Abi Thalib pun terkenal
keberaniannya didalam peperangan.
Beliau sudah mengikuti Rasulullah sejak kecil dan hidup bersamanya
sampai Rasul diangkat menjadi Nabi hingga wafatnya.

Naiknya Ali Bin Abu Thalib sebagai Khalifah adalah atas desakan
sebagian besar penduduk Madinah yang waktu itu sedang berada dalam
kekacauan akibat terbunuhnya Khalifah Usman Bin Affan.
Selama hampir lima tahun Ali Bin Abu Thalib memerintah dalam situasi
negara yang tidak stabil.
Keadaan tersebut sebenarnya telah diwarisi sejak tahun-tahun terakhir
pemerintahan Khalifah Usman.

Setelah Ali Bin Abu Thalib berkuasa, beberapa orang sahabat meminta
kepadanya agar segera menghukum orang-orang yang diduga menjadi
pembunuh Khalifah Usman. Namun permintaan tersebut tidak dapat
dikabulkan oleh Khalifah Ali karena belum jelas siapa oknum
sebenarnya yang telah melakukan pembunuhan tersebut.

Hal tersebut membuat kecewa Thalhah dan Zubayr, r.a, sehingga mereka
membujuk Ummul-Mu'minin 'Aisyah r.a, untuk mengangkat senjata kepada
Khalifah dan menarik kembali pernyataan Bai'at mereka kepadanya. Ibnu
Al-Asir mencatat sejumlah delapan belas orang yang enggan berba'iat
diantara mereka terdapat Sa'ad Bin Abi Waqqas yang pada masanya
menjadi penakluk Parsi, Ibnu 'Umar, Usamah dan Zaid Bin Tsabit
(Beliau bersama Thalhah Bin Abdullah pernah diperintahkan oleh
Rasulullah Saw untuk memata-matai gerakan musuh)

Itulah perang Jamal atau perang Onta, tahun 36 H. -disebut demikian
karena 'Aisyah memimpin pasukan dari punggung onta.
Atas perlawanan para sahabat dan Mertua tirinya itu, Khalifah Ali Bin
Abu Thalib tidak melakukan tindakan represif melainkan mengirimkan
utusan (yaitu Qa'qa bin Amr r.a) kepada istri Nabi tersebut untuk
mencari jalan damai.

Utusan Khalifah tersebut disambut oleh Thalhah dan Zubayr yang tetap
menginginkan Khalifah melakukan tindakan tegas terhadap oknum
pembunuhan Khalifah Usman.

"Kami menginginkan para pembunuh Utsman (untuk di Qishas). Yang
demikian kalau kita tinggalkan berarti kita meninggalkan
AIQur'an. Dan jika kita melaksanakannya berarti kita menghidupkan
AI-Qur'an."

Setelah usaha perdamaian itu gagal, Khalifah Ali terpaksa mengadakan
perlawanan terhadap para sahabat dan mertua tirinya itu sehingga
menyebabkan kalahnya pasukan Ummul Mu'minin 'Aisyah ra,

Dan dengan kearifannya Khalifah Ali mengamanatkan pasukannya agar
menghormati Ummul-Mu'minin itu dan mengembalikannya ke Madinah dengan
penuh penghormatan dan perlindungan.

Khalifah Ali bin Abu Thalib telah membersihkan atau mengembalikan
nama baik Sayyidah 'Aisyah dari kesalahannya memimpin perang
terhadapnya. Posisi Ali yang pada waktu itu sebagai seorang Imam atau
Khalifah memungkinkan beliau untuk melakukannya.

Tercatat dalam Nahjul Balaghah juz 2 halaman 48 mengenai status
'Aisyah dihadapan Khalifah Ali Bin Abu Thalib r.a

"Dan baginya kehormatannya seperti semula (sebelum terjun kemedan
perang), adapun perhitungan atas amalnya adalah ditangan Allah
Ta'ala"

Pada peperangan Jamal itu, Thalhah bin Abdullah dan Zubayr Bin 'Awaam
gugur terbunuh.
Thalhah Bin Abdullah ra. masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar
Siddiq ra.
Selalu aktif disetiap peperangan selain Perang Badar.
Didalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw
sehingga terhindar dari mata pedang musuh, sehingga putus jari-jari
beliau. Thalhah gugur dalam peperangan Jamal dalam usia 64 tahun, dan
dimakamkan di Basrah.

Sementara Zubair Bin Awaam r.a, memeluk Islam juga berkat Abu Bakar
Siddiq ra.
Dia ikut berhijrah sebanyak dua kali ke Habasyah dan mengikuti semua
peperangan bersama Nabi Saw.
Saat gugur dalam perang Jamal, beliau berusia 63 tahun dan dikuburkan
di Basrah.

Pecahnya perang antara para sahabatnya tersebut pernah diramalkan
oleh Rasulullah Saw.
Diriwayatkan, ketika Zubayr tengah mengiringi Nabi Saw berjalan, dan
bertemu Ali r.a., Zubayr tersenyum ramah kepada Ali. Lalu Nabi
bertanya: "Seberapa besar cintamu kepada Ali ?"
"Ya Rasulullah," Jawab ipar 'Aisyah itu.
"Demi ayah dan ibuku, aku mencintainya sebesar cintaku kepada ayah
dan ibuku atau malah lebih besar lagi."
Tetapi, sahut Nabi: "Lalu bagaimana kalau engkau kelak beranjak
memeranginya ?"
(Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, II:153)

Sebenarnya, baik 'Aisyah, Thalhah maupun Zubayr r.a sendiri
sebelumnya merasa enggan untuk mengadakan perlawanan senjata kepada
Khalifah Ali Bin Abu Thalib, hal ini tercantum dalam Tarikhur
At-Thabari Juz 4 fil fitnah 211.- Tabqiq Mawaqifus Shah'ahab.

Orang-orang yang pernah dekat dengan Nabi Saw semasa hidupnya
tersebut hanya menginginkan berjalannya hukum Allah atas pembunuhan
Khalifah Usman sebagaimana yang tertuang dalam AlQur'an surah Al
Israa :

"Dan barangsiapa yang dibunuh secara zalim, maka seseungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan pada walinya (untuk menuntut bela)
tapi janganlah melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya dia
adalah orang yang mendapat pertolongan." (Al-Isra 17:33)

Berperang melawan Ali Bin Abu Thalib, lebih-lebih lagi dengan
posisinya sebagai seorang Khalifah adalah satu beban moral
tersendiri, selain karena dekatnya sang Khalifah ini kepada Nabi
sepanjang hidupnya, juga sewaktu hendak berangkat dalam perang Tabuk,
Nabi Muhammad Saw pernah menyamakan kedudukan Ali Bin Abu Thalib
terhadap dirinya adalah seperti kedudukan Nabi Harun dengan Nabi Musa
as.

"Kedudukanmu padaku seperti kedudukan Harun pada Musa, tapi
sesungguhnya tidak ada Nabi setelahku."
(HR. Bukhari & Muslim)

Dimasa pemerintahan Khalifah Ali Bin Abu Thalib ini juga pecah
peperangan melawan pemberontakan Mu'awiyah, seorang gubernur dari
Damaskus yang ingin menuntut bela atas kematian Khalifah Usman yang
masih ada hubungan keluarga dengan dirinya, peperangan tersebut
terkenal dengan nama perang "Shiffien".

Perseteruan antara Muawiyyah dan Khalifah Ali ini pada awalnya tidak
melibatkan perebutan bangku kekuasaan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

"Dan Muawiyyah radhiallahu anhu tidak mengaku khalifah dan belum
berbaiat kepada Ali ketika memeranginya. Dia tidak melawan Ali
sebagai khalifah, dan tidak juga dia mengaku berhak sebagai
khalifah bahkan mengakui bahwa Ali lebih berhak untuk itu, bahkan
mengikrarkan demikian ketika ditanya tentangnya."
(Fatwa Ibnu Taimiyah juz 35 hal. 72)

Muawiyyah pernah menjadi pencatat wahyu di zaman Rasulullah Saw.
Beliau menjadi Gubernur Syam yang dipilih dan diangkat oleh Khalifah
Umar Bin Khatab dan diteruskan pada masa pemerintahan Khalifah Usman
radh'allahu anhu.

Tentang masalah kemewahan, beliau pemah ditegur oleh Khalifah Umar
bin AI-Khattab radhiallahu anhu dan Muawiyyah menjawab bahwa itu
merupakan politik atau cara Muawiyyah dalam memuliakan Islam di
hadapan musuh-musuhnya. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Ketika Khalifah Umar tengah berkunjung keSyam dan menyaksikan
gaya hidup Muawiyyah, beliau menegur dan mengatakan:

"mengapa engkau berbuat demikian ? sunguh aku sangat ingin menyuruh
engkau hijaz dengan bertelanjang kaki." Maka Muawiyyah menjawab:
"Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kami berada di bumi (daerah)
yang penuh mata-mata musuh. Maka kita mesti menunjukkan kemuliaan
penguasa Islam, yang berarti juga ke'muliaan Islam dan kaum muslimin
sehingga menakuti mereka (musuh) dengannya.
Kalau engkau perintahkan aku (dengan sesuatu) aku akan mengerjakannya
dan kalau engkau larang aku, aku akan berhenti."

Demikianlah jawaban Muawiyyah kepada Umar bin Khatab, hingga akhirnya
beliau (Umar) mengatakan: "Jika itu benar, itu pendapatmu, dan jika
itu bathil, maka itu tipudayamu !"
Maka berkata Muawiyyah: "Wahal Amirul Mukminin, perintahkanlah
sesuatu padaku."
Beliau (Khalifah Umar Bin Khatab) menjawab: "Aku tidak menyuruhmu dan
tidak melarangmu."
(Al-Bidayah wan Nibayab 8/ 124-125, lihat Syubbat haulas shahahah
hal. 20 oleh Muhammad Maalullah)

Pada akhirnya, Muawiyyah menganggap Khalifah Ali melindungi pembunuh
Khalifah Usman dan mulai mengobarkan peperangan terhadapnya dan
menyatakan bahwa Ali tidak layak untuk menjadi pemimpin karena tidak
dapat bersikap tegas dan dengan begitu Muawiyyah mulai menyinggung
masalah tampuk kepemimpinan keKhalifahan.

Dalam peperangan melawan Mu'awiyah bin Abu Sufyan ini pasukan
Khalifah Ali di bawah pimpinan Abu Musa Al-As'ari sudah akan berhasil
mengalahkan pasukan Mu'awiyyah di bawah pimpinan Amr Ibn 'Ash. Namun
karena siasat Amr Ibn 'Ash yang mengacungkan mushaf al-Qur'an diujung
tombaknya sebagai tanda perdamaian, Abu Musa Al-As'ari menghentikan
peperangannya. Khalifah Ali r.a. pun setuju diadakannya perdamaian
itu.

Tindakan Khalifah yang lebih mementingkan ukhuwah dan perdamain ini
menimbulkan pro dan kontra pasukannya. Perpecahan itu semakin tajam
setelah ternyata perdamaian itu dianggap tidak fair dan menguntungkan
kubu pasukan Mu'awiyyah. Sejarah kemudian mencatat bahwa pasukan
Mu'awiyyah dapat mengalahkan pasukan Khalifah Ali.

Pasukan Ali yang tidak menyetujui perdamaian itu bereaksi keras
dengan menyatakan keluar dari kubu Ali, sehingga mereka dikenal
dengan sebutan kaum Khawarij (yang secara harfiah berarti golongan
luar) disebut begitu karena mereka memisahkan diri dari masyarakat
akibat dari perselisihan Muawiyyah dan Khalifah Ali.
Kaum Khawarij ini lalu mengembangkan theologi tersendiri.

Mereka mempertahankan pendapat bahwa arbitrasi itu seharusnya tidak
pernah terjadi dan bahwa arbitrasi dalam agresi bertentangan dengan
ketentuan Al-Qur'an.

Sebaliknya golongan yang setuju dengan sikap Khalifah Ali tidak
menerima pernyataan kelompok Khawarij ini dan mereka tetap setia
kepada Khalifah dan bahkan beberapa diantaranya sampai ada yang
mengkultuskannya hingga sesat sesesatnya.

Kaum Khawarij menuduh sebagian besar sahabat yang termasyur sebagai
kafir, termasuk Khalifah Usman, Khalifah Ali, Thalhah dan Zubayr dan
memperbolehkan mengadakan perlawanan terhadap mereka.
(Al-Syawkani, Nayl Al-Awthar, VII, 190, el-Awa, The Political System,
hlm. 56, Isma'il, Manhaj, hlm. 319)

Kaum Khawarij ini pun mempertanyakan keabsahan keKhalifahan Ali
karena beliau menyetujui arbitrasi. Proses dan hasil arbitrasi itu
dikisahkan dan diinterpretasikan secara bervariasi, namun kaum
Khawarij tetap mencela arbitrasi itu dan menyatakan bahwa pertempuran
melawan Muawiyyah harus dilanjutkan sampai permasalahannya diputuskan
berdasarkan prinsip-prinsip yang benar.

Diriwayatkan sekitar 8000 orang Khawarij menentang keputusan Khalifah
Ali mengenai arbitrasi dengan Muawiyyah, namun sebagaimana
perlakuannya terhadap para sahabatnya dalam peperangan Jamal,
Khalifah Ali kali ini juga tidak mengambil langkah kekerasan,
sebaliknya beliau mengirim seorang sahabat bernama Ibnu Abbas untuk
membicarakan perbedaan-perbedaan mereka secara damai.

Sekitar 4000 orang Khawarij berhasil dibujuk untuk kembali, dan
Khalifah juga meminta yang lain untuk kembali tetapi mereka menolak.
Dengan kearifannya, Ali bin Abu Thalib mengirimkan pesan kepada
mereka :

"Kalian boleh bertahan sebagaimana yang kalian inginkan dan kami
tidak akan mengobarkan peperangan selama kalian menghindari
pertumpahan darah, penipuan dan tindakan-tindakan diluar hukum
serta kecurangan. Tetapi jika kalian melakukan salah satu
perbuatan tersebut, kami akan memerangi kalian".
(Al-Syawkani, Nayl Al-Awthar, VII, 187, lihat juga Al-'Illi,
Al-Hurriyat, hlm. 384)

Akan tetapi kebijaksanaan Khalifah Ali ini dilanggar oleh kaum
Khawarij dengan pembunuhan terhadap gubernur Nahrawan Khabbab bin Al
Art. Khalifah meminta kaum Khawarij menyerahkan sipembunuh kepada
pengadilan. Tetapi mereka menolaknya dan menjawab bahwa itu adalah
aksi yang dilakukan secara bersama-sama.

Jadi mereka menolak untuk mematuhi Khalifah dan menantang otoritasnya
secara terbuka. Oleh karena itu Khalifah Ali mengumumkan perang
melawan mereka dan berhasil mengalahkan mereka di Nahrawan.

Salah seorang pengikut Khalifah pernah melontarkan kecaman kepada
Khalifah :
"Dahulu, ketika Abu Bakar dan Umar memerintah, tidak terjadi
perpecahan Islam seperti sekarang, tapi berbeda ketika engkau
memerintah."
Kecaman ini dibalas oleh Khalifah :
"Dahulu Abu Bakar dan Umar memerintah orang seperti aku; sedangkan
sekarang aku memerintah orang seperti kamu !"

Nahjul Balghah juz 2 halaman 184 menceritakan pernyataan Ali Bin ABu
Thalib

"Demi Allah. aku sama sekali tidak memiliki keinginan memikul
jabatan khilafah ataupun wilayah, akan tetapi kalianlah yang
memanggil aku dan membawaku kepadanya. Ketika aku menerima tugas
itu, aku mengikuti petunjuk Kitabullah dan segala yang telah
ditetapkan Allah. Akupun meneladani segala yang disunnahkan oleh
Rasul-Nya."

Sementara itu akhir dari peperangan Khalifah Ali dengan gubernur Syam
Muawiyyah yang berlangsung selama 50 tahun menghasilkan kekalahan
terhadap Khalifah.

Pada hari Asyura, telah terjadi pembantaian secara biadab terhadap
cucu kesayangan Rasulullah Saw, Hasan dan Husien beserta keluarganya
di padang Karbala oleh Yazid putra Muawiyyah.

Beberapa sahabat terdekat Nabi Saw juga mendapatkan perlakuan biadab
dari Muawiyah dan pengikutnya, diantaranya adalah Muhammad putra
Khalifah Abu Bakar Siddiq r.a, (setelah dibunuh jasadnya dimasukkan
ke dalam bangkai himar lalu dibakar), Amr bin Hamk (setelah digigit
ular kepalanya dipotong dan diarak keliling lalu dilemparkan ke
pangkuan isterinya), Hujur ibn 'Adi (dibunuh karena tidak mau
melaknat Khalifah Ali), Abdurrahaman bin Hasan (dikubur hidup-hidup).

Kubu Mu'awiyyah dari Bani Umayyah yang memenangkan peperangan merasa
berkepentingan untuk mempertahankan status quonya. Karenanya mereka
mengembangkan paham theologi Jabariyah kepada kaum muslimin. Menurut
faham ini ummat Islam harus pasrah kepada nasib dan tunduk kepada
pemimpin mereka karena semua itu adalah ketetapan ('qada) dari Allah.

Muhammad Ibn Ali al-Hanafiyyah, salah seorang putra Khalifah Ali Bin
Abu Thalib menentang faham ini dengan menawarkan faham Qadariyyah.
Pemikiran ini merupakan cikal-bakal lahinya faham Mu'tazilah yang
dicetuskan oleh Ibn 'Atha', salah seorang murid Muhammad Ibn Ali
al-Hanafiyyah. Faham ini menyatakan setiap manusia memiliki kebebasan
penuh untuk menentukan nasibnya sendiri.

Perbedaan faham theologi (aqidah) yang bermula dari pertentangan
politik itu ternyata menjalar ke aspek-aspek lain termasuk syari'ah,
muamalah, syiasah, dsb.

Diambil dari berbagai sumber, diantaranya

--------------------------------------------------------------------

Dr. Musa Al Musawi ; Meluruskan Penyimpangan Syi'ah
Jalaludin Rakhmat; Islam Aktual
Muhammad Husain Haekal; Sejarah Hidup Muhammad
Dan lain sebagainya ...
Help file produced by WebTwin (www.webtwin.com) HTML->WinHelp converter. This text does not appear in the registered version.

December 05, 2006 | Permalink | Comments (1)
Setitik cahaya lupakan terangnya matahari

Setitik cahaya lupakan terangnya matahari

Bagaimana bisa kita yg merasa kuat,yg merasa tlah diberi setitik cahaya,
yg telah bangkit dari jurang hina, kembali menjadi bodoh, kembali menjadi gelap kembali menjadi budak atas semua pikiran yg tak tentu arah mengikis iman
ketidaksiapan menghadapi realita depan mata, hanya angan-angan hasil kesombongan.
Sisa kotoran yg masih menempel di hati seakan bekas luka yg tak bisa hilang
Sakit hatiku pada dunia yg ternyata merupakan kebohongan juga
merasa diri jendral ternyata prajurit bodoh pemalas yg bangga karena bisa menembak satu musuh…dan jutaan musuh terawa padaku…syetan sial!!!
ku yg tlah aniyaya diriku kembali mengharap cahayaMU
cahaya yg pernah hadir dalam kalbuku
cahaya yg ingatkan diriku akan hadirMU
setitik cahaya yg membuatku menipu diri
merasa dekat dan ternyata ku hanya terjebak
cahaya yg buat ku tinggi secara drastis
dan akhirnya ku jatuh kembali ke pinggir jurang (secara drastic)
keluar dari barisan rasulMU,lupa akan syariatnya

ku yg tak pernah tau dosa lalu terampuni
ku yg tak bisa menangis ketika menang
ku yg tak bisa tertawa ketika kalah
ku yg tlah lupa kembali akan kekuatanmu
kau pembolak-balik hati manusia
izinkalah hambamu ini…

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Yang menguasai di Hari Pembalasan.
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”(AL-Fatihah :1-7)

Entah apa yg mereka pikirakan tentang diriku,
Tolong jangan beri aku label munafik
Ku masih ingin kumasih ingin melihat hati-hati bersih pada mereka
Ku masih ingin mendengar ayat-ayat ALLAH yg maha mendengar jeritan hambanya yg beriman.
Tolonnglah hambaMU ini, Jadikanlah setan pada diriku pihak yg terkalahkan
Semoga usaha perjuangan dengan darah dan air mata jiwa raga harta ini menjadi amalan di mataMu

“Jika kamu (orang-orang musyrikin) mencari keputusan, maka telah datang keputusan kepadamu; dan jika kamu berhenti; maka itulah yang lehih baik bagimu; dan jika kamu kembali, niscaya Kami kembali (pula); dan angkatan perangmu sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sesuatu bahayapun, biarpun dia banyak dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang beriman.
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya),
dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (munafik) vang berkata "Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan.
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.
Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”(AL-Anfaal :19-24)


Ditulis senin 27 November 2006 9pagi setelah sekian lama ,(kayanye berat amat dah!!!)
Cuma tulisan dari sedikit harapan jangan mikir macem2

Big lot of Thanks for all
revoLUTHIon

November 26, 2006 | Permalink | Comments (0)
cinta = power

Knapa hadirmu buatku gundah
Knapa senyummu buatku gelisah..
Perasaan yg buat ku tampak bodoh
Karena menjadi manusia yg tak pernah
Paham akan cinta…
Bedakah orang yg hanya tahu
Dan orang yg merasakan cinta

Sejak mata ini terarah pada raut muka nan jelita
Dibalut kerundung panjang nan suci
Datanglah kekuatan ini
Bernaung dibawah syariahMU
Menambah indah nikmatMU

Oh ALLAH
Pemilik segala cinta hakiki
Engkau dan rasulMU adalah lebih kucinta dari apapun
Jangan biarkan ku terbuai dalam angan indah yg blum terwujud
Jadikanlah rasa ini kekuatanku
Menjalankan sunnahNya
Mebentuk kluarga yg sakinah
Membentuk majelis yg slalu zikir padaMU
Membentuk negara yg berazaskan AL-Qur’an dan ASsunnah

Kini ku sadar
Kaulah setengah agamaku
Kan kubuktikan akulah yg pantas dapat cinta sucimu
Tunggu aku
Bersama kita slalu sampai surga
AMIN

November 26, 2006 | Permalink | Comments (0)
MENGAPA WANITA MUDAH MENANGIS ?

MENGAPA WANITA MUDAH MENANGIS ?

Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. ? Ibu, mengapa Ibu menangis ??. Ibunya menjawab, ? Sebab aku wanita?. ? Aku tidak mengerti ? kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. ? Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti ? ?

Kemudian anak itu bertanya pada ayahnya. ? Ayah, mengapa Ibu menangis ?, ibu menangis tanpa sebab yang jelas ? sang Ayah menjawab, ? Semua wanita memang sering menangis tanpa alasan ?. Hanya itu jawaban yang bisa diberikan ayahnya.

Sampai kemudian si anak itu tumbuh menjadi remaja, ia tetap bertanya-tanya, mengapa wanita menangis. Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, ? Ya Allah, mengapa wanita mudah sekali menangis ??

Dalam mimpinya ia merasa seolah Tuhan menjawab, ? saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mmapu menhan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walaupun kerap berulang ia menerima cerca dari anaknya itu. Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa.

Kepada wanita, Kuberikan kesabaran untuk merawat keluarganya walau letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita, perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan sistuasi apapun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan membrikan kenyamanan sat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukannya tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agat tidak terkoyak.

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tidak pernah melukai istrinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling menlengkapi dan salaing menyayangi.

Dan akhirnya Kuberikan ia air mata agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapan pun ia inginkan. Hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita, walaupun sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan. ( Zuriati ibrahim From Milist Ingatan, Copy right by www. Eramuslim.com/artikel )


Why man don't cry...??!!
(saingannya neech.....)

Hati Seorang Ayah

Suatu ketika, ada seorang anak wanita yang bertanya kepada Ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat Ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai berkerut-merut dengan badannya yang terbungkuk-bungkuk, disertai suara batuk-batuknya.

Anak wanita itu bertanya pada ayahnya : "Ayah, mengapa wajah Ayah kian berkerut-merut dengan badan Ayah yang kian hari kian terbungkuk?" Demikian pertanyaannya, ketika Ayahnya sedang santai di beranda. Ayahnya menjawab : "Sebab aku Laki-laki." Itulah jawaban Ayahnya. Anak wanita itu bergumam : "Aku tidak mengerti." Dengan kerut-kening karena jawaban Ayahnya membuatnya tercenung rasa penasaran.

Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak wanita itu, terus menepuk-nepuk bahunya, kemudian Ayahnya mengatakan : "Anakku, kamu memang belum mengerti tentang Laki-laki." Demikian bisik Ayahnya, yang membuat anak wanita itu tambah kebingungan.

Karena penasaran, kemudian anak wanita itu menghampiri Ibunya lalu bertanya kepada Ibunya : "Ibu, mengapa wajah Ayah jadi berkerut-merut dan badannya kian hari kian terbungkuk? Dan sepertinya Ayah menjadi demikian tanpa ada keluhan dan rasa sakit?"

Ibunya menjawab : "Anakku, jika seorang Laki-laki yang benar-benar bertanggung-jawab terhadap keluarga itu memang akan demikian." Hanya itu jawaban sang Ibu. Anak wanita itupun kemudian tumbuh menjadi dewasa, tetapi dia tetap saja penasaran, mengapa wajah Ayahnya yang tadinya tampan menjadi berkerut-merut dan badannya menjadi terbungkuk-bungkuk?

Hingga pada suatu malam, anak wanita itu bermimpi. Di dalam impian itu seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas sekali. Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu rangkaian kalimat sebagai jawaban rasa penasarannya selama ini. "Saat Ku-ciptakan Laki-laki, aku membuatnya sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan berusaha untuk menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa aman, teduh dan terlindungi."

"Ku-ciptakan bahunya yang kekar dan berotot untuk membanting-tulang menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya."

"Ku-berikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari tetes keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapat cercaan dari anak-anaknya."

"Ku-berikan keperkasaan dan mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya berbasah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan dihembus angin, dia relakan tenaga perkasanya terkuras demi keluarganya, dan yang selalu dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih-payahnya."

"Kuberikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat dan membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerapkali menyerangnya."

"Ku-berikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam kondisi dan situasi apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya, melukai
hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi dan saling mengasihi sesame saudara."

"Ku-berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengertian dan kesadaran terhadap anak-anaknya tentang saat kini dan saat mendatang, walaupun seringkali ditentang bahkan dilecehkan oleh anak-anaknya."

"Ku-berikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan dan menyadarkan, bahwa Isteri yang baik adalah Isteri yang setia terhadap Suaminya, Isteri yang baik adalah Isteri yang senantiasa menemani, dan bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada Isteri, agar tetap berdiri, bertahan, sejajar dan saling melengkapi serta saling menyayangi."

"Ku-berikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti, bahwa Laki-laki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari dan menemukan cara agar keluarganya bisa hidup didalam keluarga bahagia dan badannya yang terbungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai Laki-laki yang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, keuletannya demi kelangsungan hidup keluarganya."

"Ku-berikan kepada Laki-laki tanggung-jawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang penyangga, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh Laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung-jawab ini adalah amanah di dunia."

Terbangun anak wanita itu, dan segera dia berlari, berlutut dan berdoa hingga menjelang subuh. Setelah itu dia hampiri kamar Ayahnya yang sedang berdoa, ketika Ayahnya berdiri anak wanita itu merengkuh dan mencium telapak tangan Ayahnya. "Aku mendengar dan merasakan bebanmu, Ayah."

:-)

Dari temen dudunger yang blm mau diketahui identitasnya

November 26, 2006 | Permalink | Comments (0)
Buat Para Ukthi ku…

Buat Para Ukthi ku…

Menunggu memang melelahkan jiwa, pangeran yang di nanti pun entah di mana gerangannya. Namun…tidaklah sebanding artinya kalau kau gadaikan aqidah hanya karena gundah gulana.

Bukankah kakanda kelak juga ada di surga? Mengapa tak tunggu saja ia datang berkereta kencana bertahta emas permata?

***
Kesepian memang kadang menyakitkan, menoreh setiap senyum dan tawa, serta menciptakan riak anak sungai di sudut mata. sedih dan pedih silih berganti kunjung mengunjungi. Pupus segala harap, melukai semua impian kadang memabukkan. hinggá, jiwa yang rapuh menciptakan serpihan kegelisahan yang memilukan.

Saat temaram rembulan menyuguhkan hidangan, terlintas sekelebat bayang, di sibaknya kegelapan, Namun entah dimana ia berada. Kecewa, hinggá guratan keresahan menyibakkan kelamnya malam. Kebisuan yang menusuk-nusuk membuat kedukaan semakin berat, bahkan menghujamkan akal dan aqidah. Air mata semakin deras tumpah, lelah tubuhpun mencoba rebah. Namun jiwa ini lemah, bening air yang coba di bendungnya kembali menerobos kelopak mata, ke pipi, hinggá membasahi sarung bantal dan kapuk di dalamnya.

Cinta…entah berapa banyak pahlawan yang tercipta karenanya, Namun cinta juga kadang melahirkan para pecundang. Ia laksana kobaran api yang berasal dari setitik bara, menyuluh, Namun dapat pula membakar. Impian karena cinta membuat hati dan raga di selimuti bahagía, memompa harapan yang keluar masuk melalui butiran darah.

Mengharapkan belahan jiwa yang Siap mendampingi saat tawa dan air mata, hinggá terbentang siluet istimewanya seorang wanita yang telah menikah, mengandung, dan melahirkan si kecil dengan selimut kasih sayang, penuh luapan cinta. Namun, impian berbeda dengan kenyataan, sepi semakin menggerogoti hari, sendiri dan masih saja sendiri.

Duhai belahan hati, entah dimana kakanda bersembunyi, cinta dan impian untuk membentuk sebuah keluarga memang begitu indah. Namun tatkala ia Belum menyapa janganlah membuat gundah dan resah, bahkan merubah pandangan pada Sang Pemilik Cinta.

Kegelisahan jangan pula membuatmu menggadaikan aqidah, karena sungguh itu harta yang tak ternilai harganya. Tak ada yang dapat membelinya, apalagi dengan basa-basi cinta yang menyelubungi halleluyah.

Cinta membara tak akan menghapus ketentuan ALLAH SWT, “dan Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman…(Al Baqaráh: 221)

Cinta akan membentuk sebuah keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah karena kesamaan iman dan aqidah, dalam naungan ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan biarkan sedikitpun celah hatimu terbuka dengan cinta berselubung halleluyah, karena itu akan meranggas aqidah.

Pernikahan dengan keyakinan berbeda, tak akan melahirkan ketentraman jiwa, karena ia adalah zina. Kelak dapatkah engkau menjawab saat anakmu bertanya mengapa ayah selalu pergi hari minggu, sedang dirimu rukuk dan sujud? Bisakah engkau menjelaskan saat anak laki2 mu bertanya, mengapa ayah tidak mengahadiri sholat jum’at padahal dirimu berbicara panjang lebar tentang kewajiban menunaikannya? Atau, mengapa ayah tidak mengucapkan bismillah tapi atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus? Juga mengapa Tuhan ayah ada 3 sedangkan dirimu sellau berucap ahad..ahad.. ahad…?

Mampukah engkau menjelaskan semua itu dan banyak pertanyaan lagi dari buah hatimu? Bahkan sanggupkah engkau menahan murkanya Allah SWT?. Duhai jiwa yang lelah…saat tanya beruntun mengetuk jiwa, dimanakah gerangan Kakanda berada, kembalilah pada Sang Pemilik Rahasia. Lantunkan munajat dan do’a. mohon tetapkan iman untuk selalu terhatur pada-Nya. Jadikan hati ini selalu ikhlas serta rela atas semua keputusan

As’alukallahumarridh a ba’dal qadha, wa burdal’iisyi ba’dal maut, wa ladzdzatan nazhori ila wajhika, wa syauqon ila liqaa’ika. Ya Allah aku mohon kerelaan atas setiap keputusanMu, kesejukan setelah kematian, dan kelezatan memandang wajahMu serta kerinduan berjumpa denganMu

Mohonkan juga kepadaNya, agar ia menguatkan niat dan azzam kepada lelaki yang Belum menikah untuk segera menyempurnakan setengah agama, sehingga dirimu serta pasangan jiwa tercinta dapat bersama membangun istana kecil nan indah dalam naungan ridho-Nya. Sabar dan besarkan jiwa.

Kalaulah Allah SWT menakdirkan dirimu sebagai lajang di dunia fana, yakinlah di surga ada kakanda yang setia menunggu hinggá saatnya tiba. Kuatkan hati, tegar dan selalu tegar, karena dirimu memiliki harta yang tak ternilai harganya, ialah AQIDAH.

Wallahua’lam bi shawab


Source: K. Motivasi Rohani DT jkt
By. Ust. Asyam Abdul Fattah

November 26, 2006 | Permalink | Comments (0)
IBU..., CERITAKAN AKU TENTANG IKHWAN SEJATI...

IBU..., CERITAKAN AKU TENTANG IKHWAN SEJATI...
dari Indrianti

Seorang remaja pria bertanya pada ibunya: Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati...

Sang Ibu tersenyum dan menjawab... Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya....

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.....

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa ...

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah... Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan...

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu...

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya...

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia mengahdapi lika-liku kehidupan...

Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca...

....setelah itu, ia kembali bertanya...

" Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?"

Sang Ibu memberinya buku dan berkata.... "Pelajari tentang dia..." ia pun mengambil buku itu

"MUHAMMAD", judul buku yang tertulis di buku itu


November 26, 2006 | Permalink | Comments (0)
About
Syndicate this site (XML)
Powered by Friendster Blogs
About Us | Contact Us | Events | Promote My Profile | Help | Terms of Service | Privacy Policy

Rabu, 09 Juli 2008

Keredupan dinamika mahasiswa pada akhir decade 1990 –an

Mencermati pergerakan mahasiswa pada akhir dekade 1990-an, terdapat fenomena menarik. Terjadi pergeseran yang mendasar di kalangan mahasiswa, ditandai dengan menguatnya dugaan orientasi pragmatisme. Jargon globalisasi dalam konteks real telah menimbulkan ‘shock’ bagi mahasiswa. Implikasinya, segenap aktivitas mahasiswa terfokus pada upaya percepatan proses studi dan nilai tinggi. Tujuannya tak lain supaya tidak tergusur dalam mendapatkan pekerjaan.

Dengan semakin kuatnya orientasi pragmatisme tersebut, otomatis fungsi tridarma perguruan tinggi makin ter-gradasi. Pun, kampus sebagai lembaga riset dan pengabdian masyarakat akan diaplikasikan sebatas fomalitas ‘an sich’. Seperti penerapan KKN yang aktivitasnya dari tahun ke tahun tidak jauh berbeda. Riset yang diharapkan mampu mereproduksi ide – ide segar yang mampu di terapkan dalam membantu kehidupan masyarakat juga masih belum mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat.

Sebagai komunitas ilmiah dan terdidik, sebenarnya mahasiswa dapat diposisikan sebagai pilar utama dalam pembangunan bangsa. Lingkungan kampus mestinya telah menciptakan proses peningkatan kesadaran sehingga mahasiswa juga mempunyai kesadaran sosial dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Eksistensi mahasiswa dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara harus mencerminkan nilai idealisme yang seharusnya sudah ‘given’ dengan status kemahasiswaannya. Yakni, nilai kritis, akdemis, rasional, obyektif, berani, dan mempunyai tanggung jawab sosial untuk kepentingan rakyat. Idealisme inilah yang seharusnya dirawat secara terus menerus bagi perkembangan karakter seorang mahasiswa.

Dengan kondisi sekarang ini ada beberapa persoalan yang hadir di tengah – tengah kehidupan mahasiswa dan lingkungan universitas. Pertama, dengan meningkatnya kuantitas mahasiswa menyebabkan posisi mahasiswa dalam dua ‘mainstream’ yakni ; (1) kelompok pragmatis yang mengkonsentrasikan diri pada pengembangan pengetahuan teknis dan skill mengikuti kebutuhan pasar kerja; (2) kelompok idealis yang masih mempunyai rasa tanggung jawab sosial terhadap problema kebangsaan, disamping tidak meninggalkan kebutuhan alam modern dalam membekali diri dengan kemampuan teknis. Kedua hal tersebut merupakan representasi mahasiswa era sekarang. Uang menempatkan potret pada dimensi yang tidak utuh dan tidak unggul.

Kedua, dinamikan dalam proses ‘powerless’. Dalam artian dinamika yang tidak menstimulir adanya kesadaran kritis mahasiswa secara massif dalam mendorong transformasi sosial. Ini disebabkan antara lain eksistensi organisasi intra kampus tidak fungsional akibat lingkungan kampus yang tidak kondusif. Disamping itu, gerakan mahasiswa yang dilakukan organisasi ekstra kampus tidak mampu mendorong terciptanya dinamika di internal kampus akibat sistem dan SDM yang tidak produktif.

Beberapa solusi yang bisa diajukan untuk menjawab problema diatas antara lain. Pertama, lingkungan kampus harus mendidik mahasiswanya agar mempunyai kepribadian sebagai manusia Indonesia yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab sosial, dan keharusan untuk mempunyai keahlian dalam menjawab kebutuhan alam modern.

Sebagai kader bangsa, kepedulian terhadap problema masyarakat mesti di pupuk sejak dini. Kepedulian yang tinggi dimaksudkan agar ketika dipercayakan padanya memegang posisi strategis tertentu, maka kebijakan yang diambil akan senantiasa mempertimbangkan kepentingan Publik ( masyarakat ) . Lain halnya jika sifat pragmatisme telah melembaga pada mahasiswa, mugkin kebocoran 30 % sebagaimana yang disinyalir oleh Sumitro akan semakin besar sehingga merugikan publik.

Kedua, organisasi intra kampus ( SMPT, BPM,UKM ) harus mengembangkan sikap independen dalam bersikap, berpikir dan berbuat. Sikap independensi ini harus ditopang oleh civitas akademika yang lain. Pimpinan perguruan tinggi harus memberikan kebebasan berapresiasi dan berkreasi bagi mahasiswanya. Dengan kondisi ini akan mendorong lingkungan kampus mempunyai dinamika yang sehat antar civitas akademika. Disamping itu, kampus sebagai laboratorium pendidikan manusia Indonesia masa depan, harus mempunyai kemampuan lebih daalm melahirkan manusia unggul dan berkualitas, dengan menciptakan sistem dan budaya kampus yang mendorong kreatifitas dan inovasi mahasiswa.

Dengan sikap independen, potensi mahasiswa akan berkembang. Tanpa itu, mahasiswa akan selalu terkekang dan terbelenggu, sehingga keberadaan mereka menjadi semu. Impian – impian masyarakat bahwa mahasiswa sebagai calon intelektual, inovator, dan motivator hanya menjadi simbol – simbol belaka. Namun, sikap independensi itu bukan hanya diwujudkan dalam konteks demonstrasi. Sebab semakin modern peradaban, maka tingkat rasionalitas manusianya akan makin meningkat. Oleh karena itu budaya yang dikembangkan haruslah hubungan dialogis dan mitra sejajar. Budaya konfrontatif pada akhirnya akan menimbulkan dampak destruktif terhadap sistem yang dibangun. Persoalannya, bagaimana semua pihak mampu saling menghargai dan saling memahami hak dan kewajibannya sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sehingga pada akhirnya, sifat kritis mahasiswa tidak hanya sepihak, tetapi juga meliputi semua dimensi, termasuk kritis terhadap apa yang dilakukan mahasiswa sendiri. Toh, kalau memang tidak bisa berbuat apa – apa, mbok ya jangan menyalahkan orang lain. Bersikap sportif terhadap realitas yang ada, katakan benar bila memang benar, dan jangan ragu menyatakan salah bila memang kenyataannya memang salah.

Ketiga, organisasi ekstra kampus harus memiliki keberanian untuk mendinamisir kampus dengan menawarkan berbagai program yang mampu memenuhi tuntutan real mahasiswa masa kini dan masa depan. Alienasi organisasi ekstra kampus dengan kampus itu sendiri harus segera diantisipasi, yaitu dengan memberikan kebebasan berpartisipasi dalam organisasi di dunia kampus. Deregulasi kebijakan yang mengekang kebebasan mahasiswa harus segera dilakukan, rasa takut pemerintah dan pimpinan perguruan tinggi harus mampu meminimalisir dinamika kampus yang destruktif.

Setelah digusur dari kampus, maka komunitas anggota organisasi ekstra makin lama makin menurun, kecuali bagi perguruan tinggi tertentu yang mewajibkan mahasiswa mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Implikasinya, beraktifitas di ekstra kampus hanya untuk memperoleh sertifikasi sebagai syarat mangikuti ujian akhir ( kompetensi). Hasilnya, tingkat kesadaran untuk menimba pengalaman dan meningkatkan kualitas menjadi rendah, sebab semuanya dinilai hanya untuk mendapatkan sertifikasi formal, alias piagam, sertifikat, dan surat SK.

Akankah ini berlanjut? Kiranya perla sebuah kesadaran baru bagi mahasiswa, bahwa keikutsertaannya dalam berbagai aktifitas bukanlah untuk memperoleh sertifikasi untuk mencapai jumlah sks tertentu, tetapi keaktifannya adalah untuk meningkatkan sifat kritisnya. Implikasi lain, kalau hanya dilatarbelakangi untuk memperoleh sertifikasi, sikap kritis dalam setiap evaluasi perjalanan organisasi tak lebih dari ‘personal interesting’ dan jauh dari semangat konstruktif. Inilah kiranya, yang menjadi sebab utama organisasi selalu terjebak dalam problematika internalnya.

Sebagai generasi muda, tuntutan masa depan makin berat. Pilar – pilar dan fundamen yang telah diletakkan oleh generasi terdahulu dan sekarang, hal itu mesti dijawab dengan upaya membangun “dinding dan atap” yang tepat dan berkualitas. Kalau tidak, tentu pilar – pilar tersebut akan dijadikan wadah baru yang lebih megah dan memiliki prospek cerah sebagai lahan bisnins. Sebab pondasinya yang kokoh akan membuat ‘bussinessman’ tergiur. Akankah kita biarkan pilar – pilar tersebut terbengkalai atau diambil pihak lain? Kiranya perlu dibuat format baru kebangkitan generasi muda dalam kiprahnya memasuki abad 21 ini. Tentu format tersebut adalah dengan tetap berlandaskan pada penegakkan nilai – nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Kategori: Mahasiswa




TERMINOLOGI PT
Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang dan tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.
Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan bisa dilepaskan dari suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.
Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran kemasyrakatan yang semestinya diambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan sebaliknya bersikap apolitis.
Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon gejala sosial yang dihadapinya, karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran idela seperti itu, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.

PERAN STRATEGIS MAHASISWA
Dalam proses perubahan sosial dan kebudayaan mahasiswa memiliki posisi dan peranan yang essensial. Ia sebagai transformator nilai-nilai dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Dan merintis perubahan dalam rangka dinamisasi kehidupan dalam peradaban yang sedang berjalan.
Kalau kita percaya kalao masa kini adalah proses masa lalu yang mendapat pengaruh dari cita-cita masa depan, maka kedudukan dan peranan mahasiswa sebagai transformator nilai dan inovator dari perkembangan yang berorientasi ke masa depan lebih jelas, bahwa mahasiswa harus menjadi semangat yang hidup dalam nilai-nilai ideal, dan membangun subkultur serta berani memperjuangkan.
Sebagai bagian dari intelektual community mahasiswa menduduki posisi yang strategis dalam keterlibatannya melakukan rekayasa sosial menuju independensi masyarakat, dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam posisinya sebagai komunitas terdidik, mahasiswa sebagai salah satu kunci penentu dalam transformasi menuju keadilan dan kemakmuran bangsa. Di samping dua kelompok strategis lainnya yaitu kaum agamawan dan masyarakat sipil (Madani) yang mempunyai kesadaran kritis atas situasi sosial yang sedang berlangsung sast ini.
Posisi mahasiswa secara sederhana bisa kita gambarkan sebagai sosok yang barada di tengah-tengah level. Di masyarakat menjadi bagian masyarakat, di kalangan intelektual mahasiswa juga dianggap berada diantara mereka. Dengan kata lain keberadaan mereka berada di tengah-tengah level apapun mempunyai nilai strategis. Nilai strategis lain mahasiswa menurut Arbi Sanit adalah mahasiswa sebagai komunitas strategis dalam proses perubahan, lihat skema

Tahapan melakukan perubahan:
EMPAT KEKUATAN
Sebagai langkah taktis dan preferensi pengembangan ke depan, mahasiswa harus memiliki 4 kekuatan :
1. kekuatan moral
2. kekuatan kontrol sosial
3. kekuatan intelektual
4. kekuatan profesional
oleh karena itu mahasiswa harus berani mengambil peran-peran strategis tersebut di atas. Sebagai kekuatan moral dan kontrol sosial, mahasiswa harus mampu benrsentuhan aksi-aksi pembelaan kaum tertindas. Pada tataran mikro secara aktif menjadi kelompok penekan (pressure group) terhadap kebijakan refresif di tingkat kampus. Pada tingkat makro, mampu melakukan advokasi terhadap masyarakat yang terpinggirkan seperti nelayan, buruh, petani, anak jalanan, dan PSK.
Sebagai kekuatan intelektual mahasiswa harus mampu melakukan pengembangan dan pembangunan komunitas intelektual (inteletual community) dengan melakukan kajian-kajian strategis dan membentuk kelompok-kelompok studi sebagai basis pembentukan reading and intelektual society dan penciptaan kultur akademis dengan menciptakan hubungan yang lebih egaliter antara dosen dan mahasiswa
Mahasiswa dam Tanggung Jawab Intelektual Muda Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Rabu, 20 September 2006

Pernah mendengar ungkapan bahwa “mahasiswa sebagai “agent of change”? Selintas ungkapan ini mengingatkan kita pada kilasan sejarah heroisme mahasiswa yang menentang tirani dimasa pra kemerdekaaan.

Masih ingat dengan Sarekat Priyayi, Boedi Otomo, Sarekat Islam, Indische Party, Perhimpunan Indonesia, dsb. Organisasi-organisasi ini pada masa pra kemerdekaan merupakan pilar pergerakan yang berjasa merintis kemerdekaan.
Dan Tirtoadhisuryo, Soetomo, Muhammad Misbach, Douwes Dekker, dsb adalah tokoh intelektual penggeraknya. Mereka adalah aktor sejarah yang berani dengan tegas mengambil peran sebagai subyek yang menggerakkan sejarah sekaligus agen dari perubahan itu sendiri.

Ada satu titik singgung yang menjadi latar realitas yang membentuk kesadaran dari para aktor sejarah ini, mereka dibentuk oleh keadaan sosialnya yaitu penjajahan dan penindasan kolonialisme. Dengan kata lain pengetahuan yang mereka dapatkan sebagai bagian dari dialektika intelektual mampu dipraktekkan pada ranah sosial yang sesungguhnya. Sehingga pengetahuan yang dihasilkan merupakan sebuah kerja praktek sosial. Pengetahuan yang lahir dari sebuah teori kemudian harus berperan sebagai pendukung praktek. Prakteklah yang kemudian menciptakan pengetahuan sekaligus menguji apakah pengetahuan yang kita miliki benar dan ilmiah.

Kancah pergerakan pra kemerdekaan sesungguhnya ruang praktek bagi tokoh pergerakan pada zamannya. Mereka tidak pernah melihat teori terpisah dengan prakteknya. Mereka adalah intelektual kampus yang berani keluar dari sekat pengetahuan teoritis dan mengabdi kepada masyarakatnya (baca: praktek). Ungkapan mahasiswa sebagai agent of change bukanlah sebuah retorika biasa, yang hanya digunakan sebagai pemanis kata di forum-forum ospek. Kemudian menguap seiring berjalannya waktu.

Ungkapan ini mengandung sebuah tuntutan tanggung jawab kepada “kaum muda kampus”. Bahwa seorang mahasiswa memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar, jauh menembus tembok-tembok tebal kampus dan melompati himpitan ruang-ruang kelas.

Teori, sekali lagi bukan hanya sekedar bacaan yang kita diskusikan diruang kelas akan tetapi sebuah bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mengkristal menjadi semangat perlawanan terhadap semua bentuk ketidakadilan dan pembelaan kepada setiap kelompok yang tergolong rentan dan rawan agar terhindar menjadi korban penindasan dan penganiayaan.

Mengapa tanggung jawab kesejarahan ini (masih) menjadi hak mahasiswa? Jawabannya, karena mahasiswa adalah insan kampus dengan tanggung jawab intelektualisme yang masih tergolong murni di antara kelompok intelektual lainnya. Meskipun secara kuantitas berjumlah kecil akan tetapi memiliki sumber daya yang besar sebagai modal dalam melakukan koreksi dan perubahan terhadap segala bentuk gejala dan perilaku yang menindas.

Dalam persfektif Gramcyan karakter intelektual setidaknya dibedakan menjadi dua tipologi dan orientasi yakni intelektual tradisional dan intelektual organik, yang masing-masing memiliki karakter dan orientasi yang berseberangan.

Intelektual tradisional memiliki karakter menjilat dengan orientasi diseputar kekuasaan dan cenderung menjadi alat legitimasi kekuasaan, sebalikya intelektual organik merupakan karakter intelektual yang memiliki visi kerakyatan, yang bergerak dan bertindak dengan suara dan kepentingan rakyat banyak.

Tidak berlebihan sekiranya apabila kita katakan bahwa mahasiswa merupakan karakter yang mewakili tipologi yang kedua ini, mengingat peran kesejarahan yang selama ini dimainkan dalam setiap momentum perubahan sosial di Indonesia.

Tokoh-tokoh pada periode pra kemerdekaan sesungguhnya figur yang berhasil dalam menjalankan misi intelektualisme tersebut, dengan menempatkan teori yang mendukung praktek dalam kerja-kerja sosial mereka pada zamannya.

Tanggung jawab mahasiswa sebagai pemegang amanat intelektualisme kaum muda sekali lagi menempatkan mahasiswa tetap pada posisi strategis untuk menggawangi perubahan di negeri ini, tinggal bagaimana kelompok “minoritas” ini mampu menyabut amanah yang pernah diberikan kepada mereka.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka, “ jangan pernah kalian sebut kami sebagai pahlawan, ketika apa yang telah kami lakukan tidak dapat kalian teruskan.” Mudah mengatakannya bukan…!

Jadikan Tri Darma Perguruan Tinggi Sebagai Landasan Pijak
Refleksi Gerakan Pemuda

Pontianak,- Gerakan mahasiswa/pemuda semakin mengalami pergeseran yang sangat bertentangan dengan fakta sejarahnya dan idealitasnya. Banyak mahasiswa yang tidak lagi menjadikan Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai landasan pijak dalam segala aktifitasnya.

“Pemuda/mahasiswa telah lupa dengan khitahnya, yakni sebagai inisiator perubahan bangsa. Pemuda semakin terkontaminasi dengan budaya-budaya berpikirnya orang-orang borjuis,” kata Ketua I PMII Kota Pontianak, Muhaimin menyampaikan hasil diskusi refleksi akhir tahun gerakan pemuda yang diselenggarakan di sekretariatnya belum lama ini.

Menurutnya, pola pikir borjuis itu bisa dilihat dari watak-watak hedonis, pragmatis, individualis bahkan oportunis yang semakin merasuki cara berpikir pemuda/mahasiswa. Sehingga, idealitas seorang pemuda yang sesungguhnya menjadi kelompok perubah sosial menjadi semakin hilang.

“Penyakit-penyakit berpikir tersebut dapat kita lihat pada realitas kehidupan pemuda/mahasiswa. Dalam hal ini kita bisa melihat gerakan mahasiswa yang semakin mengalami pergeseran yang sangat bertentangan dengan fakta sejarahnya dan idealitasnya. Bahwa mahasiswa idealnya harus menjadikan Tri Darma Perguruan Tinggi sebagai landasan pijak dalam segala aktifitasnya,” katanya.

Disebutkan dalam Tri Darma Perguruan Tinggi, seorang mahasiswa idealnya adalah “Belajar, Mengabdi, Meneliti”. Ketiga item tersebut pada saat ini, menurut Muhaimin, justru malah banyak diselewengkan.

Dia mengatakan, “Mahasiswa bukannya mengabdi pada rakyat, justru sebaliknya aktivis mahasiswa malah mengabdi dengan penguasa. Mahasiswa asik dengan perselingkuhannya dengan penindas, dan lebih suka menjadi budaknya para diktator. Celakanya hal ini semakin di legalkan hampir seluruh kaum pemuda/mahasiswa.”


Melihat Kembali Dinamika Gerakan Mahasiswa
Oleh: Adie Usman Musa[1]

Keberadaan mahasiswa di tanah air, terutama sejak awal abad ke dua puluh, dilihat tidak saja dari segi eksistensi mereka sebagai sebuah kelas sosial terpelajar yang akan mengisi peran-peran strategis dalam masyarakat. Tetapi, lebih dari itu mereka telah terlibat aktif dalam gerakan perubahan jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebagai anak bangsa yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya. Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah yang kemudian populer dengan sebutan “gerakan mahasiswa”.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa merupakan sebuah proses perluasan peran mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya gerakan mahasiswa dengan perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari persoalan yang dihadapi masyarakatnya. Disinilah letak pentingnya sebuah gerakan dibangun, yakni untuk secara aktif dan partisipatif berperan serta dalam proses perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Selain itu, sebuah gerakan yang dibangun juga akan meningkatkan daya kritis mahasiswa secara keseluruhan dalam melihat berbagai persoalan yang tengah dihadapi masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun internasional.
Sejarah menunjukkan bahwa selain aktivitas gerakan yang berupa tuntutan-tuntutan terhadap persoalan internal sebuah perguruan tinggi, gerakan mahasiswa juga mampu menemukan momentum-momentum besar yang menyebabkan keterlibatannya dalam perubahan politik nasional menjadi sangat penting. Setelah gerakan pada masa pra kemerdekaan, gerakan mahasiswa tahun 1966 yang meruntuhkan Orde Lama dan menopang lahirnya Orde Baru hingga gerakan penggulingan rejim orde tersebut pada 1998 lalu menunjukkan peran mahasiswa yang signifikan dalam perubahan sosial politik di tanah air. Sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi meromantiskan kehidupan kaum muda dan mahasiswa. Hal ini terlihat dari cara kita memandang sejarah modern bangsa kita, dengan membaginya dalam periode-periode waktu menurut momentum-momentum besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa dalam perubahan nasional. Periodisasi sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda Indonesia dalam angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, dan seterusnya hingga 1998 juga bisa diartikan sebagai pengakuan terhadap peran sentral mahasiswa dalam perkembangan dan perubahan perjalanan bangsa. Namun demikian, ada tidaknya “prestasi sejarah” tersebut tidak menjadi indikator utama keberhasilan gerakan mahasiswa. Karena pada dasarnya, gerakan mahasiswa merupakan proses perubahan yang esoterik. Ia akan terwujud dalam sebuah idealisme dan cita-cita gerakan dalam menciptakan sebuah masyarakat yang lebih baik dan lebih adil.
Harus diakui, mahasiswa hanyalah salah satu aktor yang terlibat dalam setiap momentum perubahan yang terjadi. Walaupun demikian, gerakan mahasiswa dalam setiap kurun sejarah selalu mampu menempatkan dirinya menjadi aktor utama yang berada di garda depan perubahan. Hal ini yang membedakan mahasiswa dengan aktor perubahan lainnya, seperti kalangan cendekiawan, politisi, militer, dan elemen masyarakat lainnya. Keadaan ini sangat dimungkinkan karena posisi mahasiswa yang dianggap netral dan belum bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan politik praktis. Selain itu, sebagai kaum muda yang masih belum mempunyai ketergantungan dan tanggung jawab ekonomi kepada keluarga serta posisi mereka sebagai calon intelektual, maka peran sebagai penggagas ide awal, baik di tingkat praksis maupun wacana, menjadi sangat signifikan. Tetapi, banyak studi menyebutkan bahwa kondisi psikologis mereka sebagai kaum muda yang dinamis dan anti kemapanan serta rasa percaya diri yang tinggi sebagai mahasiswa, menjadi faktor penting dalam menempatkan mahasiswa di garda depan perubahan. Sementara elemen lain dalam masyarakat sering hanya menjadi kelompok pengikut (kelompok kesiangan), setelah perubahan berlangsung.
Munculnya kelompok kesiangan ini bisa dimaknai sebagai konsekuensi dari setiap perubahan sosial politik. Kalau gerakan mahasiswa merupakan bagian dari sebuah proses inovasi dalam perubahan sosial, Hadley Read (1979) mengatakan bahwa biasanya untuk menerima suatu inovasi, ada kelompok pelopor (earlier adopters) yang jumlahnya sedikit. Mahasiswa dan sebagian kecil komponen masyarakat lainnya masuk dalam kelompok ini. Setelah kelompok pelopor melakukan sosialisasi dalam waktu tertentu, barulah muncul “kelompok kesiangan” (later adopters) yang jumlahnya jauh lebih besar. Lantas tersisa kelompok kecil yang menolak sama sekali inovasi yang sudah memasyarakat itu. Mereka termasuk dalam kelompok pendukung status quo (non adopters). Kelompok terakhir ini biasanya selalu menjadi penghambat dalam setiap perubahan sosial yang tengah berlangsung. Mereka adalah kelompok masyarakat yang selama ini sudah hanyut dalam kenikmatan dari sebuah sistem yang menguntungkan mereka. Kelompok ini juga yang diidentifikasi oleh mahasiswa sebagai musuh mereka.
Klasifikasi Read di atas tidak hanya berlaku umum dalam masyarakat ketika perubahan berlangsung, ia juga terjadi dalam tubuh mahasiswa sendiri. Di kalangan mahasiswa juga terdapat mahasiswa yang menempatkan dirinya pada posisi earlier adopters. Mereka adalah kelompok minoritas di kalangan mahasiswa. Mereka biasanya diidentifikasi dengan sebutan “aktivis mahasiswa”. Namun, sebagian besar mahasiswa biasanya menjadi kelompok later adopters, bahkan tidak sedikit yang menjadi pendukung status quo. Hanya saja, pendukung status quo di kalangan mahasiswa bukanlah “musuh” dalam dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah gerakan dibandingkan dengan kelompok yang sama di masyarakat umum. Kelompok mahasiswa ini masih mudah untuk disadarkan akan pentingnya melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, peran sebagai garda depan perubahan—dalam arti sesungguhnya—pada dasarnya hanya layak disandingkan pada kalangan aktivis mahasiswa, tanpa mereduksi peran mahasiswa secara keseluruhan. Karena para aktivis mahasiswa inilah yang sebenarnya berperan di garda depan yang menggerakkan sebuah proses gerakan mahasiswa.
Selain itu, intensitas sebuah sebuah gerakan dalam proses perubahan pada dasarnya dipengaruhi oleh dua kondisi, yakni pertama, kondisi subyektif, berupa hal-hal yang berkaitan dengan faktor internal mahasiswa seperti latar belakang sosial, ideologi dan idealisme yang terbangun. Dan kedua, kondisi obyektif, adalah tatanan sosial, politik dan ekonomi yang melingkupi proses gerakan. Umumnya, peran strategis mahasiswa akan menguat tatkala kedua kondisi ini secara signifikan dapat mendukung terjadinya momentum-momentum perubahan sosial politik. Kedua kondisi ini akan kita bicarakan lebih lanjut dalam bahasan di bawah ini.

Aktivis dan Non Aktivis Mahasiswa
Mengapa sebuah gerakan mahasiswa dapat berlangsung, dan siapa yang menggerakkannya? Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sederhana, tapi tidak mudah untuk menjawabnya. Sarlito Wirawan Sarwono (1978) mencoba menjawab lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gerakan mahasiswa tersebut dengan melakukan sebuah penelitian yang merupakan tesis doktoral pada Universitas Indonesia. Sarlito menggunakan istilah “gerakan protes” untuk menyebut aktivitas mahasiswa tesebut. Ia memulai risetnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan:

1. Mengapa gerakan protes mahasiswa terjadi? Faktor-faktor apa yang menentukan timbulnya gerakan protes?
2. Mahasiswa-mahasiswa manakah yang aktif berpartisipasi dalam gerakan-gerakan protes itu? Ciri-ciri psikologis apa yang membedakan mahasiswa-mahasiswa aktivis ini dari mahasiswa-mahasiswa non-aktivis lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenarnya juga telah ada dalam penelitian lain yang lebih dahulu, yang juga mempersoalkan hal yang sama, seperti yang telah dilakukan oleh Altbach, Lipset, Keniston, Feuer, dan Shimbori. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut lebih banyak bersifat penelitian sosiologis, dan bukan penelitian psikologis dan belum ada satu pun yang dilakukan di Indonesia.
Untuk membandingkan mahasiswa-mahasiswa yang pernah ikut dalam gerakan protes, Sarlito membagi mahasiswa dalam tiga jenis, yaitu:
1. Aktivis: mahasiswa yang pernah ikut dalam suatu gerakan protes (minimum sekali)
2. Pemimpin: mahasiswa yang pernah memprakarsai atau mengorganisir suatu gerakan protes (minimum sekali)
3. Non-aktivis: mahasiswa yang tidak pernah ikut sama sekali dalam gerakan protes.
Sedangkan gerakan protes itu sendiri dirumuskan sebagai tindakan menentang otoritas (pemerintah atau pimpinan perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui saluran-saluran formal.
Secara kuantitatif, terdapat perbedaan jumlah yang sangat mencolok antara pemimpin dan aktivis di satu pihak, dan non-aktivis di pihak lain. Dari seluruh responden (2.500 orang), 2,8% diantaranya tergolong pemimpin dan 5,4% dapat digolongkan aktivis. Sedangkan sisanya tergolong non-aktivis sebesar 91,8%. Data ini memberikan gambaran bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah kelompok minoritas di kampus dibandingkan dengan kalangan non-aktivis mahasiswa.
Penelitian yang berangkat dari hipotesa deprivasi relatif Gurr menghasilkan analisis yang sangat menarik. Pemimpin mempunyai beberapa sifat yang sama dengan aktivis dan mempunyai beberapa sifat lain pula yang sama dengan non-aktivis. Tetapi antara aktivis dan non aktivis hampir tidak dapat ditemukan persamaan-persamaan. Nampaknya hal ini memang wajar, yaitu seorang pemimpin memerlukan simpati dan dukungan dari semua pengikutnya, yang dalam hal ini terdiri dari aktivis maupun non-aktivis. Sebaliknya, aktivis tidak selalu mempunyai persamaan dengan non-aktivis karena aktivis pada dasarnya bergiat menurut garisnya sendiri, tidak membutuhkan pengikut. Pemimpin dan aktivis sama-sama merasa lebih pandai dari mahasiswa lainnya, duduk di tingkat yang lebih tinggi, lebih tua, lebih berpengalaman, kritis dan agresif. Mereka datang dari the pattern setting group atau kelas menengah ke atas. Pemimpin dan aktivis relatif lebih banyak di perguruan-perguruan tinggi swasta dan kota-kota besar.
Pemimpin berbeda dengan aktivis, ternyata lebih melihat kenyataan, lebih banyak mempertimbangkan realitas dari pada aktivis. Karena itu, pemimpin lebih bisa melihat hal-hal yang positif, tidak hanya melihat segi negatifnya saja dari sesuatu hal. Di lain pihak, aktivis lebih idealis dan dalam idealismenya itu ia cenderung melihat segala sesuatu serba tidak sempurna dan serba kurang memuaskan. Karena itu, ketidakpuasan aktivis lebih bertahan lama dan meluas mencakup segala hal, sedangkan ketidakpuasan pemimpin terbatas pada hal-hal tertentu saja dan hanya mengenai masalah-masalah yang prinsipil saja.
Non-aktivis di lain pihak, tidak melihat banyak hal yang perlu dirisaukan di sekitarnya. Segala sesuatu berjalan baik, dan kalaupun ada hambatan yang bisa menghalangi studinya, maka hambatan itu datang dari dirinya sendiri yang merasa kurang mampu. Satu syarat lain yang perlu dipunyai oleh seorang pemimpin tetapi tidak diperlukan oleh seorang aktivis adalah kemampuan bicara, kemampuan persuasi dan keberanian mengambil resiko. Mahasiswa-mahasiswa dari suku bangsa tertentu yang mempunyai kemampuan-kemampuan ini ternyata memang lebih banyak mempunyai pemimpin gerakan protes mahasiswa.
Adapun tempat-tempat persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan pemimpin gerakan protes mahasiswa adalah badan-badan kemahasiswaan intra universitas seperti Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Majelis Permusyawaratan Mahasiwa dan Pers Kampus. Sedangkan di kalangan organisasi mahasiswa ekstra universitas hanya organisasi-organisasi tertentu dan jabatan-jabatan tertentu saja yang cukup berarti bagi persemaian pemimpin dan aktivis gerakan protes mahasiswa. (Sarlito, 1978)
Secara keseluruhan, tesis Sarlito tersebut di atas cukup komprehensif, walaupun ada beberapa hal yang barangkali kurang relevan dengan kenyataan saat ini. Beberapa hal tersebut misalnya ia mengatakan bahwa para aktivis dan pemimpin mahasiswa lebih banyak muncul di perguruan-perguruan tinggi swasta. Dalam kenyataannya, tidak ada hubungan yang signifikan antara perguruan tinggi swasta dan negeri dalam melahirkan pemimpin dan aktivis mahasiswa. Pendapat lain yang perlu dikoreksi adalah tempat persemaian yang baik untuk para aktivis dan pemimpin mahasiswa adalah lembaga kemahasiswaan intra universitas. Pendapat ini memang relevan dengan kondisi tahun 1970-an dimana suasana dan daya tarik aktivitas intra kampus lebih menonjol dibandingkan kegiatan-kegiatan di lembaga ekstra universitas.
Namun, sejak Dewan Mahasiswa dibubarkan di semua perguruan tinggi lewat SK Kopkamtib No. Skep 01/kopkam/1978 dan ditindaklanjuti dengan SK NKK/BKK oleh Mendikbud Daoed Yusoef maka lembaga kemahasiswaan intra universitas nyaris lumpuh. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan berada dibawah kendali rektorat. Suatu proses yang tidak pernah membuat mahasiswa belajar berpolitik secara mandiri dan bertanggung jawab. Walaupun demikian, tesis Sarlito di atas cukup menjadi pijakan untuk melihat bagaimana kondisi subyektif yang membentuk mahasiswa menjadi seorang watak aktivis maupun non-aktivis. Demikian juga, kondisi tersebut secara signifikan berperan dalam tindakan protes, atau lebih luas lagi dalam sebuah gerakan mahasiswa secara keseluruhan.

Munculnya Gerakan Perubahan
Secara teoritis, literatur-literatur ilmu politik menjelaskan beberapa pandangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan yang mengarah pada perubahan sosial. Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar dibandingkan dengan negara yang demokrat. Sebuah pemerintahan negara yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini, akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini terpendam di bawah permukaan.
Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial. Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.
Selain itu, dalam sebuah perubahan sosial, selalu ditemukan faktor-faktor penting yang menjadi pemicu lahirnya perubahan yang pada gilirannya menjadi realitas sosial baru. Perintis sains-sains sosial Islam, Dr. Ausaf Ali berpendapat bahwa faktor-faktor penting yang menjadi pemicu perubahan itu adalah: pertama, munculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang cenderung terhadap tatanan baru. Kedua, adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang berbeda; dan ketiga, partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan masyarakatnya. Faktor-faktor penting tersebut dapat kita lihat dalam sejarah Renaisance di Eropa, lahirnya Marxisme dan Sosialisme di Eropa Timur, dan terutama sekali sejarah perjuangan nabi-nabi, serta berbagai perubahan sosial mutakhir yang melibatkan para mahasiswa.
Sementara Huntington (1991) menjelaskan mekanisme transisi politik dari pemerintahan ortoriter ke demokratis dengan mengajukan empat model perubahan politik. Pertama, model transformasi (transformation). Dalam hal ini, inisiatif demokratisasi berasal dari pemerintah. Pemerintahlah yang melakukan liberalisasi sistem politik. Biasanya model ini terjadi di negara yang pemerintahannya sangat kuat, sementara masyarakat sipilnya lemah. Transisi yang terjadi di Taiwan pada awal tahun 1990-an, ketika pemerintah Kuomintang menyelenggarakan pemilu yang demokratis kira-kira masuk dalam model ini. Juga proses perubahan transisi politik yang terjadi di Spanyol dan Brazil.
Kedua, model replasi (replacement). Model ini terjadi ketika pemerintah yang berkuasa dipaksa untuk meletakkan kekuasaannya dan kemudian digantikan oleh kekuatan oposisi. Berbeda dengan model pertama di atas, model ini terjadi di negara yang pemerintahannya mulai lemah, sedangkan masyarakat sipilnya tubuh menjadi kuat. Rejim Marcos di Filipina yang dipaksa turun oleh rakyatnya dan kemudian digantikan oleh Cory Aquino merupakan contoh yang tepat untuk model ini, selain Jerman Timur dan Portugal.
Ketiga, model transplasi (transplacement). Model ini merupakan gabungan dari dua model yang sudah disebutkan di atas. Model ini terjadi karena pemerintah yang berkuasa masih kuat, sementara pihak oposisi belum terlalu solid untuk menjatuhkannya. Maka diupayakanlah berbagai proses negosiasi antara pihak pemerintah dan pihak oposisi tentang bagaimana langkah-langkah yang harus diambil bersama untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis secara gradual. Lech Walesa di Polandia agaknya mempraktekkan model ini dengan cara melakukan negosiasi dengan pihak militer untuk mewujudkan demokratisasi. Hal yang sama terjadi di Bolivia dan Nicaragua.
Keempat, model intervensi (intervention). Model ini terjadi disebabkan oleh keterlibatan pihak eksternal yang turut campur. Contoh kasus yang paling tepat barangkali adalah intervensi angkatan perang AS terhadap pemerintahan Panama dengan tuduhan keterlibatan jaringan perdagangan obat bius. Intervensi akhirnya mendorong dilaksanakan pemilu yang demokratis.
Mengacu pada beberapa rumusan teoritis di atas, maka dinamika keterlibatan mahasiswa dalam setiap momen perubahan sosial politik sangat bervariasi, tergantung pada kondisi obyektif yang ada. Dalam sistem politik nasional yang otoriterianistik, seperti Indonesia pada jaman Orde Baru, gerakan mahasiswa cenderung sulit menemukan bentuknya yang heroik. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari upaya sebuah rejim otoriter untuk membungkam setiap gerakan yang berseberangan dengan kekuasaan, termasuk gerakan mahasiswa. Dalam kondisi yang demikian, maka yang terjadi adalah upaya pemasungan dan pengendalian hak-hak mahasiswa. Mahasiswa kemudian diarahkan menjadi “anak baik” yang akan mengisi kotak-kotak pembangunan, tanpa disertai adanya kesadaran yang tepat terhadap berbagai persoalan masyarakat. Lulusan perguruan tinggi pun hanya menjadi kacung pembangunan untuk melegitimasikan kekuasaan otoriter yang korup. Itulah yang terjadi selama ini.
Namun demikian, dalam logika gerakan, kondisi yang otoriterianisktik dan korup justru menjadi faktor awal untuk memunculkan kritik dan berbagai ketidakpuasan sosial lainnya. Dalam perspektif yang lebih luas, ketimpangan dunia dalam wujud kapitalisme dan imperialisme juga menjadi landasan kritik bagi gerakan mahasiswa. Dinamika kondisi politik yang berubah dari represif menjadi moderat terhadap oposisi, juga akan melahirkan berbagai gerakan mahasiswa yang selama ini terpendam di bawah permukaan. Atau menurut terminologi Huntington, dalam model replasi dan transplasi akan memberi ruang gerak yang lebih luas bagi gerakan mahasiswa.
Selain itu, perkembangan gerakan mahasiswa di banyak negara lain di manca negara secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada gerakan mahasiswa di tanah air. Gerakan mahasiswa di Korea, Cina, Amerika Latin, dan lain sebagainya sering menjadi referensi pembanding dalam merumuskan strategi gerakan yang efektif bagi gerakan mahasiswa kita.

Gerakan Moral Versus Gerakan Politik
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa kondisi subyektif dan kondisi obyektif secara signifikan kemudian membentuk watak gerakan mahasiswa. Secara sederhana, sebuah gerakan merupakan suatu proses untuk mencapai perubahan jangka panjang seperti yang dicita-citakan. Perubahan jangka panjang ini adalah perubahan yang visioner (esoterik), yakni perubahan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang ideal. Dengan demikian, sebuah gerakan mahasiswa tidak hanya membutuhkan modal berupa keberanian di tingkat praksis (eksoterik), tetapi juga kecanggihan di tingkat wacana.
Pendekatan esoterik biasanya kita akan memasuki wilayah substantif, berupa kajian tentang substansi gerakan dan banyak bermain dalam dialektika wacana secara terus-menerus. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul biasanya adalah bagaimana sebuah orientasi perubahan dirumuskan, landasan teoritis dan ideologis apa yang melingkupi perubahan, serta tatanan perubahan masyarakat yang bagaimana yang diharapkan akan terwujud? Dalam konteks ini, maka kekuatan wacana dengan visi yang jelas merupakan modal yang sangat berharga dalam merumuskan orientasi perubahan.
Sementara pendekatan eksoterik, membuat kita memasuki wilayah praksis gerakan. Ia akan berproses dalam persoalan strategi gerakan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana melakukan sebuah perubahan, cara apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan perubahan yang dimaksud? Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan ini tersebut tentu saja kemudian terumuskan dalam wilayah strategis taktis sebuah gerakan.
Dari pendekatan di atas, maka kita akan bisa melihat bahwa gerakan mahasiswa akan terpola dalam dua pola besar yang untuk sederhananya kita bagi menjadi dua, yakni gerakan moral dan gerakan politik. Gerakan moral (moral force) biasanya dipersepsikan sebagai sebuah gerakan yang memihak pada nilai-nilai moral universal, yakni nilai kebenaran, keadilan, demokratisasi, hak azasi manusia, dan sebagainya. Sebuah gerakan moral biasanya tidak masuk dalam wilayah kepentingan politik praktis dengan saling dukung-mendukung terhadap kekuatan kelompok tertentu (power block). Mereka hanya mendukung kepentingan nilai yang menurut mereka bagus. Dengan demikian, kalau misalnya sebuah partai politik (parpol) mengedepankan nilai-nilai keadilan, demokratisasi, HAM, dan sebagainya, maka mereka akan mendukungnya dalam arti untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, bukan mendukung kekuatan parpol secara politis. Sebaliknya, kalau ternyata parpol tersebut tidak lagi memperjuangkan nilai-nilai dengan standar moralitas yang dimaksud, maka sebuah gerakan moral akan menarik dukungannya, bahkan melawannya. Jadi, ringkasnya sebuah gerakan moral adalah gerakan yang mendukung untuk memperjuangkan nilai-nilai dengan ukuran moralitas tertentu. Disinilah independensi gerakan mahasiswa akan terlihat. Mahasiswa bukan subordinat kekuatan politik tertentu.
Sementara gerakan politik merupakan gerakan untuk melakukan perubahan politik dengan berpihak pada kekuatan politik tertentu, atau menjadikan dirinya sebagai lokomotif politik mahasiswa. Mereka tidak alergi untuk melakukan sharing dan lobi-lobi politik dengan kekuatan politik yang ada. Bagi mereka hal ini perlu dilakukan sebagai strategi untuk mencapai perubahan. Mereka mengkritik gerakan moral sebagai ketakutan untuk bersentuhan dengan kepentingan politik, dan hanya mampu melakukan himbauan moral. Keberpihakan pada kekuatan politik tertentu secara riel tidak apa-apa, sepanjang ide-ide perubahan yang diperjuangkan mahasiswa sejalan dengan mereka. Dalam kondisi tertentu dan dibutuhkan, organisasi mahasiswa bahkan berubah menjadi organisasi politik seperti yang pernah dilakukan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 dengan mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Sosiolog Arief Budiman bahkan mengkritik gerakan moral dengan mengistilahkannya sebagai “koboi”. Ia datang ketika ada kerusuhan dan kekacauan yang dilakukan oleh para penjahat di suatu daerah. Setelah para penjahat dibasmi dan keadaan kembali tenang, maka sang koboi pun pergi lagi mengembara kemana-mana. Demikian seterusnya setiap ada kekacauan, sang koboi datang dan pergi lagi.
Dari kedua konteks di atas, maka seyogiayanya gerakan mahasiswa membutuhkan pola-pola gerakan yang bervariasi. Kecenderungan pada kutup ekstrim tertentu antara gerakan moral dan gerakan politik justru akan mereduksi peran gerakan itu sendiri. Karena itu, apapun penjelasannya, kedua pola tersebut tetap dibutuhkan. Yang penting tetap mampu memberikan nuansa dalam proses perubahan yang visioner dan esoterik. Dengan kata lain, mengutamakan salah satu pola (gerakan politik maupun gerakan moral) akan berujung pada kegagalan analitik untuk merumuskan strategi gerakan dalam mencapai orientasi perubahan.

Pasang Surut Gerakan Mahasiswa Indonesia
Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum awal dari semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir secara modern, yang bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Perhimpunan Indonesia ini merupakan perubahan nama dan terjemahan dari nama Belandanya, yakni Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang telah ada sejak 1908. Penggunaan kata “Indonesia” menunjukkan adanya keinginan besar mahasiswa Indonesia waktu itu untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme Belanda.
Akira Nagazumi (1977) mencatat bahwa dalam suatu karangan mengenai “Perhimpunan Indonesia”, Soenario, pemimpin organisasi ini pada pertengahan tahun 1920-an, membagi sejarah organisasi tersebut dalam lima kurun waktu, yakni:
1. 1908-1913; masa berkelompok demi cita-cita dan cara untuk mencapainya, walaupun tanda-tanda patriotisme telah dapat dilihat.
2. 1913-1919; orientasi politis ke arah Indonesia merdeka lantaran pengaruh tiga orang pemimpin Indische Partij yang diasingkan dari tanah airnya.
3. 1919-1923; meningkatnya semangat nasionalisme, yang mengarah ke perubahan nama.
4. 1923-1930; perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik.
5. 1930 dan sesudahnya; kemunduran organisasi dan pergeseran dari politik antikolonial ke anti fasis.
Pada tahun 1900 hanya ada lima mahasiswa Indoensia yang belajar pada pendidikan tinggi di negeri Belanda, tetapi pada tahun 1908 jumlah mahasiswa Indonesia sudah 23 orang, dan pada tahun inilah Indische Vereniging dibentuk (John S. Furnivall, 1939). Walaupun dimulai dengan sederhana, organisasi ini memiliki arti dalam dua hal. Pertama, ia membuka pintu keanggotaan untuk semua mahasiswa dari Hindia Belanda, tidak seperti Budi Utomo yang sekalipun didirikan pada tahun yang sama, lambat laun menjadi suatu organisasi yang beranggotakan orang Jawa saja. Pilihan ke arah ini oleh Indische Vereniging tidaklah kebetulan, karena pada mulanya beberapa para pendirinya mengusulkan untuk membuat perkumpulan tersebut menjadi cabang Budi Utomo di negeri Belanda. Tetapi, walaupun mayoritas mahasiswa Hindia Belanda di Nederland itu orang Jawa, namun usul itu tidak diterima oleh mereka yang berasal dari Sumatera, Minahasa, Maluku, dan yang lainnya. Akibatnya, Indische Vereniging mampu mengatasi hambatan etnosentrisme. Namun demikian, ternyata masih diperlukan dua dasawarsa bagi para pemimpin nasionalis di Hindia Belanda untuk menjadi sadar akan persatuan nasional Indonesia.
Kedua, Indische Vereniging bukan hanya sekedar organisasi persahabatan seperti disebut oleh beberapa penulis mengenai sejarah Indonesia modern. Pasal dua dari anggaran Dasarnya menetapkan sebagai berikut: “memperbaiki atau meningkatkan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan memelihara hubungan dengan Hindia Belanda”. Pada bulan Januari 1909 pengadilan lokal di kota Leiden mempersoalkan istilah “orang Hindia” (Indier) dan Soemitro, sekretaris organisasi pada waktu itu, harus menghadap untuk memberi penjelasan mengapa perkataan tersebut digunakan dan bukan kata yang lazim dipakai, yaitu “Inlander” (pribumi), walaupun dengan konotasi yang diskriminatif (Nagazumi, 1977).
Dalam sejarah perjalanannya, Perhimpunan Indonesia terbukti mampu mengakomodasikan semua orang Hindia secara egaliter dan tanpa diskriminatif—berbeda dengan Budi Utomo—menjadi awal bangkitnya semangat perlawanan mahasiswa Indonesia. Bahkan dari tahun 1923 hingga tahun 1930 organisasi ini merubah dirinya dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik, sebuah metamorfosis yang sangat berani waktu itu. Semangat mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia kemudian semakin mengkristal dalam berbagai gerakan perubahan di tanah air dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928, dan kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peranan mahasiswa mulai menonjol kembali terutama pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu tiga kekuatan, yakni mahasiswa, Presiden Sukarno dan Angkatan Darat merupakan aktor-aktor yang menentukan. Angkatan Darat sejak mengumumkan SOB pada bulan Maret 1957, berhasil menciptakan transformasi dan konsolidasi politik internal. Sehingga secara politik menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hal ini kemudian diperkuat oleh konsepsi Jenderal Nasution tentang middle way (jalan tengah) yang kelak menjadi konsep dwi fungsi ABRI (sekarang TNI). Sedangkan Soekarno, sejak mengumumkan dekrit 5 Juli 1959, posisinya semakin sentral. Partai politik yang di masa Demokrasi Parlementer menjadi aktor dominan, pada era demokrasi terpimpin ini semakin tergeser perannya. Soekarno kemudian berhasil menjadi faktor penyeimbang (balance of power) antara Angkatan Darat dan kekuatan politik lain, terutama PKI yang jelas berseberangan dengan Angkatan Darat dan mahasiswa (Sudjana, 1995).
Peran mahasiswa pada era ini tumbuh bersamaan dengan terbentuknya Badan Kerjasama Pemuda-Militer. Badan inilah yang menjadi cikal bakal dan merupakan forum pertama bagi gerakan mahasiswa untuk menjadi partisipan politik atas namanya sendiri. Dibandingkan masa Demokrasi Parlementer peran seperti ini hampir-hampir mustahil, karena pada saat itu posisi mahasiswa selalu berada dalam subordinat partai politik dengan ideologi dan alirannya masing-masing. Kemelut ekonomi dan politik pada tahun 1966 dan dibarengi dengan usaha kudeta PKI pada tanggal 30 September 1966 (G 30 S) menyebabkan terjadinya situasi yang chaos. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI terus menjalin kerjasama erat dengan militer, terutama pimpinan Angkatan Darat, yang kemudian menaikkan Jenderal Suharto dan lahirlah Orde Baru.
Semasa Orde baru berkuasa, tercatat banyak momentum politik yang melibatkan mahasiswa. Misalnya tuntutan mahasiswa tahun 1974 dengan peristiwa “Malari” dan tahun 1978 yang meminta Presiden Suharto mundur. Kedua peristiwa tersebut berbuntut pada ditangkap dan diadilinya banyak aktivis mahasiswa. Sejak itu, pemerintahan Suharto menerapkan langkah jitu untuk membungkam setiap gerakan mahasiswa dengan melakukan depolitisasi mahasiswa dan mengintegrasikan kanpus menjadi bagiand dari birokrasi negara. Kebijakan ini tentu saja berakibat pada penghancuran infrastruktur politik mahasiswa. Kegiatan mahasiswa kemudian menjadi bagian dan dikontrol oleh birokrasi kampus (Rektorat) yang merupakan kepanjangan tangan birokrasi negara. Sejak saat itu, mahasiswa kita tidak terlibat lagi dalam politik kampus dan nasional, bahkan cenderung merasa dirinya tidak bermakna dalam politik. Dalam banyak hal berkembang sinisme, apatisme dan bahkan “inertia”. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.
Lebih parah lagi, kebijakan deideologisasi partai politik, ormas dan lembaga kemahasiswaan dengan diterapkannya azas tunggal Pancasila pada tahun 1985 membuat dinamika gerakan mahasiswa menjadi lesu. Hal ini tidak saja dialami oleh lembaga-lembaga mahasiswa intra kampus bentukan Orde Baru, juga dialami oleh organisasi-organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam keadaan seperti ini, model-model gerakan berubah total dari pola jalanan (demonstrasi) ke pola-pola yang lebih “aman” melalui kajian-kajian intelektual. Maka muncullah banyak kelompok-kelompok studi di kampus-kampus sebagai ajang aktualisasi akan fenomena yang terjadi. Keadaan ini berlangsung hingga akhir tahun 1997-an.
Sekitar awal tahun 1990-an, gerakan mahasiswa menemukan bentuknya kembali di bawah represifitas negara yang belum surut. Mungkin banyak orang mengira bahwa gerakan mahasiswa telah mandeg, tetapi ternyata tidak. Pola-pola “aman” yang diterapkannya dengan sekali-kali melakukan model jalanan, terutama di beberapa kota besar, ternyata cukup menjadi investasi menghadapi perubahan politik nasional pada akhir 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter. Tidak banyak lembaga mahasiswa cukup berani dan eksis dalam gerakan tersebut. Di Yogyakarta ada LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Sementara di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta.
SMID yang kemudian menjadi lembaga tingkat nasional menggambarkan rejim Orde Baru sebagai bersifat fasis dan totaliter, dan pada 1994 menuntut sebuah sistem multipartai demokratis. Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan di kantor pusat PDI pada Juli 1996, banyak aktivis SMID ditahan. Sementara itu, aktivis mahasiswa muslim, termasuk yang ada di FKMIJ, mengorganisir demonstrasi besar-besaran menentang judi milik negara, SDSB, pada 1993. Protes-protes keras terutama yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral, memaksa pemerintah membubarkan usaha itu. Demonstrasi anti SDSB merupakan arak-arakan protes pertama yang mencapai istana kepresidenan di Jakarta. Aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga ikut ambil bagian untuk menyatakan solidaritas terhadap Bosnia dan menentang pemberantasan korupsi (Uhlin, 1998). Hal senada juga dilakukan mahasiswa muslim Yogyakarta dibawah payung LMMY. LMMY dan FKMIJ merupakan institusi kantong Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) yang menjadi lembaga bawah tanah selama Orde Baru berkuasa.
Menjelang akhir tahun 1997 saat Indonesia dilanda krisis moneter dan diikuti dengan berbagai krisis lainnya, para aktivis mahasiswa semakin memantapkan posisinya untuk melakukan gerakan menuntut Soeharto mundur. Pada saat itu, muncul banyak sekali elemen-elemen aksi mahasiswa yang bersifat instan dengan mengusung warna ideologi masing-masing. Namun, satu hal yang mempersatukan mereka adalah keinginan bersama untuk menjatuhkan rejim totaliter Soeharto. Didukung oleh berbagai demonstrasi besar-besaran di berbagai kota di tanah air, gerakan ini kemudian mengkristal menjadi gerakan massa. Sayangnya, gerakan massa rakyat tersebut diwarnai dengan berbagai kerusuhan, terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, yang justru mencoreng citra gerakan mahasiswa itu sendiri. Walaupun demikian, tekanan perubahan yang dahsyat pada waktu itu memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Di sinilah mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya—kecuali militer—berperan sangat sentral dalam menggulingkan rejim Orde Baru.
Kalau pada tahun 1966 mahasiswa bekerjasama dengan militer dalam menggulingkan Orde Lama, maka pada tahun 1998 mahasiswa justru menjadikan militer sebagai musuh bersama (common enemy) yang dianggap anti reformasi. Demikianlah, momentum perubahan politik nasional pada 1998 yang terkenal dengan istilah “gerakan reformasi” tidak serta merta membawa perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Kekuatan anti reformasi Orde baru masih banyak bercokol di Partai Golkar dan TNI. Dus, setelah empat tahun rejim Soeharto dijatuhkan, kemudian berturut-turut penguasa berganti dari Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kini Megawati Soekarnoputri, perubahan yang sejak awal dicita-citakan mahasiswa belum banyak memenuhi harapan. Di sinilah peran gerakan mahasiswa era selanjutnya harus dimainkan, yakni menuntaskan berbagai agenda reformasi yang belum berjalan.

Penutup
Sejak Perhimpunan Indonesia berdiri pada 1908 hingga tahun perubahan politik nasional tahun 1998, gerakan mahasiswa Indonesia mengalami fluktuasi dan pasang surut mengikuti situasi perubahan yang terjadi. Dalam masa-masa itu pula peran sentral mereka dalam perubahan terlihat jelas. Walaupun demikian, ada juga masa-masa di mana mereka tidak mampu menampilkan perannya secara maksimal, seperti pada saat kurun waktu 1978 hingga awal 1990-an. Disamping itu, kondisi subyektif seperti yang dijelaskan Sarlito menunjukkan bahwa para aktivis mahasiswa adalah kelompok minoritas kreatif yang kerap tampil sebagai penggerak utama dalam setiap momentum gerakan.
Lantas, bagaimana gerakan mahasiswa Indonesia ke depan? Apakah mereka akan menemukan bentuknya yang relevan, atau justru kembali pada pengulangan sejarah dalam ketidakberdayaannya? Kalau kita melihat kondisi ril sejak reformasi 1998, gerakan mahasiswa cenderung tidak jelas. Keberhasilan gerakan tahun 1998 tidak serta merta memberikan dinamika positif pada gerakan mahasiswa selanjutnya secara keseluruhan. Ternyata, depolitisasi Orde baru masih tersimpan dalam alam bawah sadar mahasiswa dan masyarakat kita hingga kini. Sehingga pembinaan mahasiswa di lembaga intra kampus pun belum berubah dan beranjak maju. Dengan kata lain, masih seperti dulu pada jaman NKK/BKK. Lemahnya proses ideologisasi dan hanya ditopang oleh semangat euforia sesaat, menyebabkan gerakan tahun 1998 hanya menemukan momentumnya yang sementara, dan kemudian redup.
Walaupun demikian, dengan melihat analisis di atas, maka tentu saja gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti, sebelum perubahan masyarakat seperti yang dicita-citakan terwujud. Generasi boleh berganti, tapi semangat, cita-cita dan idealisme gerakan tidak boleh redup. n