Selasa, 20 Mei 2008

ORDE LAMA
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM. Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat. Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di "Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk adat. Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Pada 6 Juni 1901 Bung Karno lahir di Surabaya. Dia meninggal dunia pada 21 Juni 1970 di Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Saya yang ikut meliput acara pemakaman almarhum dari rumah duka di Wisma Yaso Jl Gatot Subroto (kini Museum Satria Mandala) ke Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, melihat pengantar jenasah yang begitu membludak di sepanjang jalan.Dari kediaman Nyonya Dewi, istrinya, di Wisma Yaso, ke bandara yang jaraknya belasan kilometer, mobil jenazah harus berjalan perlahan-lahan karena harus melewati ribuan massa. Di antara mereka banyak yang melelehkan air mata dan menangis histeris. Kabarnya, haul 27 tahun wafat presiden RI pertama itu akan diperingati di Blitar. Dikabarkan banyak tokoh nasional yang akan hadir, termasuk mantan presiden Megawati, puteri tertua almarhum.
Presiden Soekarno — seperti dinyatakannya sendiri — baru merasa berkuasa penuh setelah pada 5 Juli 1959 mengeluarkan maklumat kembali ke UUD 1945 dan membubarkan konstituante hasil pemilu pertama. Dia begitu membenci demokrasi parlementer, yang olehnya dikritik sebagai demokrasi ala Barat yang tidak cocok dengan demokrasi Indonesia.
Tapi, menurut Herbeth Feith & Lance Coster dalam buku Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, periode demokrasi parlementer boleh dianggap berakhir Maret 1958, ketika terjadi pertentangan yang amat seru antara pusat dan daerah dan berujung pemberontakan PRRI/Permesta. Kekalahan pemberontak yang begitu cepat dan pengambilalihan semua milik Belanda, disusul dengan susunan politik baru. Parpol-parpol menjadi lemah dan peran para pemimpin ABRI menjadi jauh lebih besar.
Pidato Presiden Soekarno pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1960 berjudul Kembali ke Jalur Revolusi, oleh MPRS kemudian ditetapkan sebagai Manifesto Politik (Manipol) menjadi garis-garis besar Haluan Negara. Parpol maupun perorangan, yang dinilai menyimpang dari Manipol, disingkirkan. Masyumi dan PSI dibubarkan, tokoh-tokohnya dipenjarakan, termasuk tokoh oposisi yang tergabung dalam Liga Demokrasi. Setelah membubarkan BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme), terakhir kali Bung Karno membubarkan Partai Murba — musuh utama PKI.
Dari soal-soal politik kita bisa menyoroti suasana kota Jakarta di era demokrasi terpimpin, yang pada 22 Juni 2007 nanti berusia 480 tahun. Bung Karno, pada masa jayanya itu, punya pengaruh cukup menentukan dalam membentuk wajah kota Jakarta. Pada awal demokrasi terpimpin, penduduk Jakarta hampir tiga juta jiwa. Kenaikan enam kali dari populasi 1941, menjelang hengkangnya kolonial Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang penduduk Jakarta baru sekitar 500 ribu jiwa. Sebagian akibat migrasi, karena banyaknya orang ngendon ke Jakarta akibat stagnasi di kota-kota lain. Seperti juga sekarang, meski diberlakukan otonomi, tapi pendatang ke kota si Pitung ini makin membludak.
Seperti juga tahun 1950-an, gubuk-gubuk liar banyak bertebaran di mana-mana. Tidak terhitung jumlah pengemis dan gelandangan. Bung Karno yang ketika itu menjadikan Jakarta sebagai kota perjuangan bangsa-bangsa tertindas, sangat sibuk menerima kepala-kepala negara asing.
Guna menunjukkan keramahan bangsa Indonesia, untuk menyambut tamu negara dikerahkan murid-murid sekolah, kaum buruh dan pegawai negeri sipil. Mereka berbaris di sisi kiri dan kanan jalan yang di lewati tamu negara — dari bandara Kamayoran hingga depan Istana Negara — sambil mengelu-ngelukannya.
Pernah terjadi menjelang kedatangan Presiden Polandia, di dekat bandara Kemayoramn dipasang bendera negara Eropa Timur itu yang bewarna putih-merah. Seorang Hansip, yang menyangka bendera itu dipasang terbalik, langsung menaiki tiang dan membaliknya jadi merah putih. Karuan saja panitia menjadi repot akibat ulah si Hansip. Benderapun dikembalikan menjadi putih merah.
Bung Karno-lah yang membangun Jl Thamrin dan Jl Sudirman — menjelang Asian Games IV awal 1960-an — yang menghubungkan Senayan dan Kebayoran Baru. Jalan ini — semula tidak beraspal — oleh Bung Karno disulap menjadi jalan protokol. Kini kawasan di timur kedua jalan tersebut, bersama Kuningan-Gatot Subroto, merupakan kawasan segi tiga emas.
Di Jl Thamrin, Bung Karno membangun gedung berlantai 20, Sarinah, pencakar langit tertinggi kala itu, dari hasil uang pampasan perang Jepang. Di lantai bagian atas pada masa Bang Ali Sadikin dibangun kasino yang kemudian mendapat protes keras dari umat Islam. Sementara, Usmar Ismail — tokoh perfilman nasional — membangun nite club Mirasa Sky Club yang merupakan klub malam pertama ketika itu. Di Jl Thamrin, Bung Karno membangun Hotel Indonesia bertingkat 13, setelah sebelumnya menggusur Hotel des Indes di Jl Gajah Mada, peninggalan Belanda. Dia kurang menyenangi bangunan warisan kolonial.
Kawasan Sudirman-Thamrin makin bergengsi setelah dibangun kompleks OR Gelora Bung Karno pada 1960, ketika Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games IV. Meskipun, untuk itu tergusur ribuan KK warga Betawi yang kemudian ditempatkan di Tebet, Jakarta Timur. Setelah daerah ini berkembang, ribuan warga Betawi tergusur lagi ke daerah-daerah pinggiran.
Kini jumlah warga Betawi korban gusuran yang masih tinggal di Tebet dapat dihitung dengan jari. Memang demikianlah nasib warga Betawi di kota kelahirannya sendiri. Semoga gubernur mendatang lebih memberikan perhatian pada nasib warga Betawi dan tidak lagi melakukan penggusuran secara sewenang-wenang tanpa ganti rugi yang layak. Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetab Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadapa Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.

Tidak ada komentar: