Selasa, 20 Mei 2008

ORDE BARU

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Masa Jabatan Suharto

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Politik

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik — di Eropa Timur sering disebut lustrasi — dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

Eksploitasi sumber daya

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan [rujukan?].

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Perpecahan bangsa

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

  • perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
  • sukses transmigrasi
  • sukses KB
  • sukses memerangi buta huruf
  • sukses swasembada pangan
  • pengangguran minimum
  • sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
  • sukses Gerakan Wajib Belajar
  • sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

  • semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
  • pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
  • munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
  • kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
  • bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
  • kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
  • kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
  • penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
  • tidak ada rencana suksesi

Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

http://www.indonesiaindonesia.com/f/2389-indonesia-era-demokrasi-terpimpin/

Ekonomi di bawah Orde Baru

Kebjiakan ekonomi pada awal pemerintahan Suharto berhasil menekan inflasi yang sangat tinggi

Suharto mengakhiri jabatannya sebagai presiden akibat fondasi ekonomi Indonesia ambruk diterjang krisis dan gelombang politik yang menghendaki perubahan.

Kenyataan ini bertolak belakang dengan situasi pada awal kepemimpinan jenderal purnawirawan ini pada tahun 1968.

Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama.

"Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun," kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.

Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal

Emil Salim

Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun.

Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya.

Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

Terikat modal asing'

Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas.

Presiden Suharto menandatangi kesepakatan IMF beberapa bulan sebelum mundur di tahun 1998

Suharto menamai programnya 'Pembangunan Lima Tahun' atau PELITA, yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.

Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

"Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang," kata mantan menteri koordinator perekonomian Indonesia antar tahun 1999-2000.

Namun menurut Emil Salim, untuk menggerakkan pembangunan, Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980.

Kembali ke halaman depan

Kemajuan sektor migas

Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia.

"Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi," kata pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak.

Liberalisasi sebesar mungkin, sebebas-bebasnya, kalau ada intervensi boleh dikatakan didikte oleh IMF dan Bank Dunia, yang dibelakangnya adalah pemerintah Amerika Serikat dan dampaknya dirasakan sampai sekarang

Kwik Kian Gie, tentang kebijakan ekonomi Suharto

Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an, menurut Emil Salim, diawali dengan pembenahan di bidang politik.

Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai.

Lebih lanjut, Emil Salim menilai, pendekatan seperti yang dilakukan Suharto pada awal pemerintahannya lazim dipraktekkan oleh para pemimpin di kawasan Asia Timur dan Tenggara.

"Ada pandangan bahwa demokrasi yang dikembangkan di negara berkembang itu membutuhkan semacam pengarahan atau intervensi untuk tidak segera bersifat liberal," kata Emil Salim.

Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960

Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.

Kembali ke halaman depan

Titik balik

Masa keemasan ekonomi Orde Baru, kata Emil salim, mengalami titik balik ketika memasuki tahun 1990-an, saat BJ Habibie dengan visi teknololgi masuk merambah bidang ekonomi.

Suharto melepaskan jabatan setelah unjuk rasa besar-besaran tahun 1998

Tetapi, Kwik Kian Gie tidak sependapat dan dia menilai Habibie bukan faktor penting dalam titik balik ekonomi Orde Baru.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa Orde Baru terkesan begitu memukau," kata Kwik, namun menurutnya di sisi lain kesenjangan dan kemiskinan adalah akibat kebijakan ekonomi liberal.

Krisis moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan tuntutan reformasi total, dia anggap sebagai konsekuensi logis dari kebijakan tersebut yang diperburuk oleh situasi politik.

Namun, pengamat ekonomi Djisman Simandjuntak mempunyai analisa berbeda tengan jatuhnya Suharto.

"Krisis ekonomi untuk sebagian orang memang bisa ditelusuri ke praktek kebijakan, bukan desain kebijakan di atas kertasnya," kata Djisman.

Pengamat ekonomi ini menilai pada prakteknya kebijakan pemerintahan Suharto sarat dengan berbagai penyelewengan seperti kolusi, korupsi dan nepotisme pada kroni Suharto.

Pada saat yang bersamaan, rakyat menuntut suksesi politik. Dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjadi pemicu krisis politik yang sudah dipendam oleh rakyat, tambah Djisman Simandjuntak.

Tidak ada komentar: